Saya pernah ditanyai oleh salah seorang junior saya tentang bagaimana sih latihan beladiri jaman dulu dan jawabannya sudah saya tuliskan disini. Tetapi pernahkah Anda bertanya-tanya bagaimana model latihan beladiri di jaman antah-berantah? Dan yang saya maksud antah-berantah disini bukanlah 10 atau15 tahun yang lalu melainkan ratusan tahun yang lalu.
Saya akan memberi contoh dari salah satu seni beladiri yang paling populer di dunia yaitu karate.
Kalau kita ingin belajar karate--saat itu lebih dikenal dengan sebutan tote (lit: tangan cina)--di tahun 1800-an di Okinawa, kita tidak akan menemukan sebuah bangunan megah dengan papan yang bertuliskan:
Anda harus mencari lebih jeli lagi. Karate, pada saat itu, bukanlah seni beladiri yang diajarkan secara umum, bahkan karate bukanlah sesuatu yang umum dibicarakan orang. Untuk bisa belajar karate, Anda harus memiliki koneksi luas yang bisa membantu Anda untuk bertemu dengan seorang master/ guru karate.
Kenapa para ahli karate pada masa itu tidak mempromosikan dojo-nya secara besar-besaran seperti sekarang ini? Apa mereka tidak ingin punya banyak murid? Apa mereka tidak ingin mendapatkan duit dari keahliannya?
Di jaman itu, seorang ahli karate tidak mengajar untuk mendapatkan uang, mereka tidak peduli jika mereka hanya mempunyai 1 atau 2 orang murid saja asalkan mereka (muridnya) adalah orang-orang yang "tepat". Para ahli karate di masa itu hanya menerima murid yang mempunyai karakter dan watak yang baik, uang didapatkan dengan cara lain (bukan dari mengajar karate).
Para ahli karate di masa itu sangat berhati-hati untuk tidak menurunkan ilmu yang berpotensi mematikan ini kepada orang yang salah. Sering kali, sebelum menerima seseorang (atau beberapa orang) menjadi muridnya, seorang guru akan menyuruh calon(-calon) muridnya untuk mengerjakan pekerjaan sehari-hari bagi sang guru. Pekerjaan seperti mencuci pakaian, menyiapkan makanan dan sake (arak Jepang), membersihkan rumah, dan tugas sehari-hari lainnya harus dikerjakan oleh si calon murid selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, yang semuanya bertujuan untuk menyeleksi dan melihat watak asli dari si calon murid.
Latihan dimulai setelah sang guru merasa sudah mengenal watak dari calon muridnya (disiplin, tingkah laku, kepatuhan, dan rasa hormat adalah hal yang paling dinilai).
Dengan cara ini sang guru membuat si calon murid sadar bahwa penerimaan dirinya menjadi murid adalah sesuatu yang sangat berharga, dan juga untuk "memberitahu" si calon murid bahwa dirinya akan menjalani proses latihan yang berat.
Dengan cara ini pula akan terbentuk "giri" (kepatuhan dan loyalitas)--sikap yang sangat penting dalam masyarakat Okinawa/ Jepang bahkan hingga sekarang--dalam diri si calon murid.
Dengan kata lain, setelah Anda "membayar" guru Anda dengan melakukan berbagai hal--yang kadang terlihat nggak penting, berat, dan membosankan--dalam waktu yang cukup lama, kemungkinan (sangat) besar Anda tidak akan berhenti berlatih di tengah jalan. Memang Anda tidak membayar dengan uang, tetapi Anda membayar dengan sesuatu yang jauh lebih berharga yaitu waktu dan komitmen.
Sang guru--yang akan mengajari Anda banyak teknik "rahasia" dan mematikan--juga harus meyakinkan dirinya bahwa dia dan Anda mempunyai "ikatan" yang cukup kuat sehingga Anda tidak akan pernah meninggalkan dirinya. Itulah "giri" ~ loyalitas.
Kalau proses pemilihan murid saja seperti itu, bagaimana dengan metode latihannya? Tidak ada sumber yang lebih akurat selain dari Gichin Funakoshi. Pendiri karate shotokan ini menulis dalam bukunya "Karate-do: My Way of Life":
"At that time the practice of Karate was banned by the government, so sessions had to take place in secret, and pupils were strictly forbidden by their teachers to discuss with anyone the fact that they were learning the art. I shall have more to say on this subject later on; for the moment, suffice it to note that Karate practice could then be held only at night and only in secret.
I taught school during the day and then, in the dead of night, I made my stealthy way, carrying a dim lantern when there was no moon, to the house of master Azato. When, night after night, I would steal home just before daybreak, the neighbors took to conjecturing among themselves as to where I went and what I was doing.
Some decide that the only possible answer to this curious enigma was a brothel!
The truth of this matter was very different indeed. Night after night, in the backyard of the Azato house as the master looked on, I would practice a kata time and again, week after week, sometimes month after month, until I had mastered it to my teacher’s satisfaction. This constant repetition of a single kata was grueling, often exasperating and on occasion humiliating. More than once I had to lick the dust on the floor of the dojo or in the Azato backyard. But practice was strict, and I was never permitted learning new techniques until I had satisfactorily understood the one I had been working on.
Although considerably advanced in years, he [Azato] always sat ramrod stiff on the balcony when we worked outside, wearing a hakama, with a dim lamp beside him. Quite often, through sheer exhaustion, I found myself unable to make out even the lamp!
After executing a kata, I would await his verbal judgment. It was always tense. If he remained dissatisfied with my technique, he would murmur, “Do it again,” or, “A little more!”
A little more, a little more, so often a little more until the sweat poured and I was ready to drop: it was his way of telling me there was still something to be learned, to be mastered. Then, if he found my progress satisfactory, his verdict would be expressed in a single word “Good!”
That one word was his highest praise, and until I had heard it spoken several times, however, I would never dare ask him to begin teaching a new technique [kata]."
Jadi Anda tidak hanya harus melalui proses yang panjang dan melelahkan untuk diterima sebagai murid, Anda juga harus bertahan dalam latihan yang berat dan membosankan (berlatih 1 macam kata saja harus dilakukan secara berulang-ulang-ulang-ulang kali).
Di masa itu, latihan karate (baca: seni beladiri) bukanlah sesuatu yang Anda lakukan untuk mengisi waktu luang dan bersenang-senang, latihan beladiri bukan hanya sekedar sebuah hobi, latihan beladiri adalah sebuah panggilan, sebuah jalan hidup.
Dan hasilnya bisa terlihat sampai sekarang.
Menurut Anda apakah Gichin Funakoshi, Nakano Michiomi, Jigoro Kano, Morihei Ueshiba, Masaaki Hatsumi, dan para ahli beladiri yang lain akan tetap bertahan dalam latihannya kalau mereka membeli "paket 100 ribu untuk latihan selama sebulan"? Apakah mereka akan mempunyai disiplin dan loyalitas yang sama?
Saya yakin 101% jawabannya adalah TIDAK. Kemungkinan besar mereka akan berkata "Persetan dengan guru gue, emang gue pikirin, mending gue pergi jalan-jalan sama pacar gue".
Akan tetapi, sistem guru-murid seperti ini mempunyai satu kelemahan besar: "Anda tidak akan bisa mengajukan pertanyaan kepada guru Anda". Secara teknis Anda memang masih bisa bertanya, tidak ada yang menjahit bibir Anda atau semacamnya, tetapi disaat yang sama Anda tidak diperbolehkan untuk bertanya.
Kalau seorang guru sudah menerima Anda sebagai murid (setelah melalui perjuangan yang panjang dan berat), tahan mulut dan hati Anda untuk bertanya, berlatih-lah dengan tekun atau Anda akan 'dipecat' sebagai murid secepat Anda mengedipkan mata Anda.
Bertanya adalah pelanggaran etika yang sangat berat, "Diam adalah emas", jangan bertanya apapun dan lakukan saja apa yang dikatakan oleh guru Anda. Kalau guru Anda ingin mengatakan sesuatu kepada Anda, beliau pasti akan mengatakannya, Anda tidak perlu bertanya kepada beliau.
Lalu manakah yang lebih baik? Cara latihan jaman dulu atau sekarang?
Menurut saya akan lebih baik kalau kita menggabungkan keduanya.
Metode latihan "kuno" seperti penekanan pada kihon (latihan dasar), repetisi/ pengulangan, latihan yang serius, kepatuhan, dan loyalitas digabungkan dengan metode latihan "modern" seperti diskusi, introspeksi, umpan balik dari guru dan atau teman latihan, serta metode latihan penguatan tubuh yang sudah terbukti secara ilmiah.
Saya yakin, penggabungan dua metode ini akan menghasilkan manusia-manusia pembela diri yang tangguh dan berkualitas.
Lalu kenapa kita tidak banyak melihat metode gabungan ini diterapkan?
Hmm... kenapa ya?
Oh iya...
Satu kata... T-R-A-D-I-S-I.
Saya akan memberi contoh dari salah satu seni beladiri yang paling populer di dunia yaitu karate.
Kalau kita ingin belajar karate--saat itu lebih dikenal dengan sebutan tote (lit: tangan cina)--di tahun 1800-an di Okinawa, kita tidak akan menemukan sebuah bangunan megah dengan papan yang bertuliskan:
"Dojo karate, menerima siswa baru, hanya 100 ribu perbulan, bonus seragam plus konsultasi gratis selama satu bulan pertama. Dijamin mahir"
Anda harus mencari lebih jeli lagi. Karate, pada saat itu, bukanlah seni beladiri yang diajarkan secara umum, bahkan karate bukanlah sesuatu yang umum dibicarakan orang. Untuk bisa belajar karate, Anda harus memiliki koneksi luas yang bisa membantu Anda untuk bertemu dengan seorang master/ guru karate.
Kenapa para ahli karate pada masa itu tidak mempromosikan dojo-nya secara besar-besaran seperti sekarang ini? Apa mereka tidak ingin punya banyak murid? Apa mereka tidak ingin mendapatkan duit dari keahliannya?
Di jaman itu, seorang ahli karate tidak mengajar untuk mendapatkan uang, mereka tidak peduli jika mereka hanya mempunyai 1 atau 2 orang murid saja asalkan mereka (muridnya) adalah orang-orang yang "tepat". Para ahli karate di masa itu hanya menerima murid yang mempunyai karakter dan watak yang baik, uang didapatkan dengan cara lain (bukan dari mengajar karate).
Para ahli karate di masa itu sangat berhati-hati untuk tidak menurunkan ilmu yang berpotensi mematikan ini kepada orang yang salah. Sering kali, sebelum menerima seseorang (atau beberapa orang) menjadi muridnya, seorang guru akan menyuruh calon(-calon) muridnya untuk mengerjakan pekerjaan sehari-hari bagi sang guru. Pekerjaan seperti mencuci pakaian, menyiapkan makanan dan sake (arak Jepang), membersihkan rumah, dan tugas sehari-hari lainnya harus dikerjakan oleh si calon murid selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, yang semuanya bertujuan untuk menyeleksi dan melihat watak asli dari si calon murid.
Latihan dimulai setelah sang guru merasa sudah mengenal watak dari calon muridnya (disiplin, tingkah laku, kepatuhan, dan rasa hormat adalah hal yang paling dinilai).
Dengan cara ini sang guru membuat si calon murid sadar bahwa penerimaan dirinya menjadi murid adalah sesuatu yang sangat berharga, dan juga untuk "memberitahu" si calon murid bahwa dirinya akan menjalani proses latihan yang berat.
Dengan cara ini pula akan terbentuk "giri" (kepatuhan dan loyalitas)--sikap yang sangat penting dalam masyarakat Okinawa/ Jepang bahkan hingga sekarang--dalam diri si calon murid.
Dengan kata lain, setelah Anda "membayar" guru Anda dengan melakukan berbagai hal--yang kadang terlihat nggak penting, berat, dan membosankan--dalam waktu yang cukup lama, kemungkinan (sangat) besar Anda tidak akan berhenti berlatih di tengah jalan. Memang Anda tidak membayar dengan uang, tetapi Anda membayar dengan sesuatu yang jauh lebih berharga yaitu waktu dan komitmen.
Sang guru--yang akan mengajari Anda banyak teknik "rahasia" dan mematikan--juga harus meyakinkan dirinya bahwa dia dan Anda mempunyai "ikatan" yang cukup kuat sehingga Anda tidak akan pernah meninggalkan dirinya. Itulah "giri" ~ loyalitas.
Kalau proses pemilihan murid saja seperti itu, bagaimana dengan metode latihannya? Tidak ada sumber yang lebih akurat selain dari Gichin Funakoshi. Pendiri karate shotokan ini menulis dalam bukunya "Karate-do: My Way of Life":
"At that time the practice of Karate was banned by the government, so sessions had to take place in secret, and pupils were strictly forbidden by their teachers to discuss with anyone the fact that they were learning the art. I shall have more to say on this subject later on; for the moment, suffice it to note that Karate practice could then be held only at night and only in secret.
I taught school during the day and then, in the dead of night, I made my stealthy way, carrying a dim lantern when there was no moon, to the house of master Azato. When, night after night, I would steal home just before daybreak, the neighbors took to conjecturing among themselves as to where I went and what I was doing.
Some decide that the only possible answer to this curious enigma was a brothel!
The truth of this matter was very different indeed. Night after night, in the backyard of the Azato house as the master looked on, I would practice a kata time and again, week after week, sometimes month after month, until I had mastered it to my teacher’s satisfaction. This constant repetition of a single kata was grueling, often exasperating and on occasion humiliating. More than once I had to lick the dust on the floor of the dojo or in the Azato backyard. But practice was strict, and I was never permitted learning new techniques until I had satisfactorily understood the one I had been working on.
Although considerably advanced in years, he [Azato] always sat ramrod stiff on the balcony when we worked outside, wearing a hakama, with a dim lamp beside him. Quite often, through sheer exhaustion, I found myself unable to make out even the lamp!
After executing a kata, I would await his verbal judgment. It was always tense. If he remained dissatisfied with my technique, he would murmur, “Do it again,” or, “A little more!”
A little more, a little more, so often a little more until the sweat poured and I was ready to drop: it was his way of telling me there was still something to be learned, to be mastered. Then, if he found my progress satisfactory, his verdict would be expressed in a single word “Good!”
That one word was his highest praise, and until I had heard it spoken several times, however, I would never dare ask him to begin teaching a new technique [kata]."
Jadi Anda tidak hanya harus melalui proses yang panjang dan melelahkan untuk diterima sebagai murid, Anda juga harus bertahan dalam latihan yang berat dan membosankan (berlatih 1 macam kata saja harus dilakukan secara berulang-ulang-ulang-ulang kali).
Di masa itu, latihan karate (baca: seni beladiri) bukanlah sesuatu yang Anda lakukan untuk mengisi waktu luang dan bersenang-senang, latihan beladiri bukan hanya sekedar sebuah hobi, latihan beladiri adalah sebuah panggilan, sebuah jalan hidup.
Dan hasilnya bisa terlihat sampai sekarang.
Menurut Anda apakah Gichin Funakoshi, Nakano Michiomi, Jigoro Kano, Morihei Ueshiba, Masaaki Hatsumi, dan para ahli beladiri yang lain akan tetap bertahan dalam latihannya kalau mereka membeli "paket 100 ribu untuk latihan selama sebulan"? Apakah mereka akan mempunyai disiplin dan loyalitas yang sama?
Saya yakin 101% jawabannya adalah TIDAK. Kemungkinan besar mereka akan berkata "Persetan dengan guru gue, emang gue pikirin, mending gue pergi jalan-jalan sama pacar gue".
Akan tetapi, sistem guru-murid seperti ini mempunyai satu kelemahan besar: "Anda tidak akan bisa mengajukan pertanyaan kepada guru Anda". Secara teknis Anda memang masih bisa bertanya, tidak ada yang menjahit bibir Anda atau semacamnya, tetapi disaat yang sama Anda tidak diperbolehkan untuk bertanya.
Kalau seorang guru sudah menerima Anda sebagai murid (setelah melalui perjuangan yang panjang dan berat), tahan mulut dan hati Anda untuk bertanya, berlatih-lah dengan tekun atau Anda akan 'dipecat' sebagai murid secepat Anda mengedipkan mata Anda.
Bertanya adalah pelanggaran etika yang sangat berat, "Diam adalah emas", jangan bertanya apapun dan lakukan saja apa yang dikatakan oleh guru Anda. Kalau guru Anda ingin mengatakan sesuatu kepada Anda, beliau pasti akan mengatakannya, Anda tidak perlu bertanya kepada beliau.
Lalu manakah yang lebih baik? Cara latihan jaman dulu atau sekarang?
Memukul makiwara, salah satu metode latihan jadul [sumber] |
Metode latihan "kuno" seperti penekanan pada kihon (latihan dasar), repetisi/ pengulangan, latihan yang serius, kepatuhan, dan loyalitas digabungkan dengan metode latihan "modern" seperti diskusi, introspeksi, umpan balik dari guru dan atau teman latihan, serta metode latihan penguatan tubuh yang sudah terbukti secara ilmiah.
Saya yakin, penggabungan dua metode ini akan menghasilkan manusia-manusia pembela diri yang tangguh dan berkualitas.
Lalu kenapa kita tidak banyak melihat metode gabungan ini diterapkan?
Hmm... kenapa ya?
Oh iya...
Satu kata... T-R-A-D-I-S-I.
0 komentar:
Post a Comment