Coba tebak apa yang paling ditunggu-tunggu oleh pasangan ibu dan bapak muda dari bayi kecilnya yang berusia 9 - 12 bulan?
Ya benar, mengucapkan kata pertamanya.
Saat berusia 2 - 3 bulan, bayi memang sudah mulai bisa mengeluarkan ocehan-ocehan seolah-olah ingin menyampaikan sesuatu, tetapi baru di usia 9 - 12 bulan lah seorang bayi bisa mengucapkan kata-kata yang memiliki arti. Biasanya sih kata pertama yang diucapkan adalah "ibu", "ayah", "mama", "papa", dan sebagainya.
Namun bagaimana seandainya kata-kata pertama tersebut tidak 'diucapkan' oleh si bayi melainkan 'dituliskan'-nya? Bagaimana seandainya seorang bayi belajar untuk 'menulis' sebelum belajar untuk 'berbicara'? Bagaimana seandainya kita belajar untuk menuliskan kata-kata (atau kosa kata) bahkan sebelum kita bisa mengucapkan ataupun memahami kata-kata tersebut?
Terdengar aneh dan tidak masuk di akal?
Ya benar, mengucapkan kata pertamanya.
Saat berusia 2 - 3 bulan, bayi memang sudah mulai bisa mengeluarkan ocehan-ocehan seolah-olah ingin menyampaikan sesuatu, tetapi baru di usia 9 - 12 bulan lah seorang bayi bisa mengucapkan kata-kata yang memiliki arti. Biasanya sih kata pertama yang diucapkan adalah "ibu", "ayah", "mama", "papa", dan sebagainya.
Namun bagaimana seandainya kata-kata pertama tersebut tidak 'diucapkan' oleh si bayi melainkan 'dituliskan'-nya? Bagaimana seandainya seorang bayi belajar untuk 'menulis' sebelum belajar untuk 'berbicara'? Bagaimana seandainya kita belajar untuk menuliskan kata-kata (atau kosa kata) bahkan sebelum kita bisa mengucapkan ataupun memahami kata-kata tersebut?
Terdengar aneh dan tidak masuk di akal?
Photo credit: Andrew Moon |
Yang saya maksudkan tentu saja bukan menulis dan bicara secara literal, tetapi saat kita berlatih jurus (atau kata/ poomsae/ tan'en hokei atau apapun Anda menyebutnya) serta aplikasi-nya.
Tetapi, sebelum kita membahas lebih jauh, apa sih sebenarnya berbicara itu?
Berbicara adalah suatu bentuk komunikasi (berbahasa, berkata-kata) dengan cara mengeluarkan suara-suara tertentu dari mulut kita.
Yang menjadi masalah adalah suara tersebut tidak akan bisa kita dengar untuk selamanya. Suara akan 'menghilang' segera setelah diucapkan (kecuali direkam, tetapi anggap saja tidak direkam ;D). Untuk dapat didengarkan kembali, suara itu harus diucapkan lagi.
Suara, kata-kata, ataupun kalimat yang kita ucapkan tidaklah abadi--mungkin kecuali di dalam ingatan kita (dan kalau direkam ;D). Tetapi ingatan pun tidak bisa dijadikan acuan. Terkadang, apa yang kita ucapkan dan apa yang diingat orang tentang apa yang kita ucapkan (jelas gak sih maksud kalimat saya?) adalah dua hal yang sangat berbeda. Lama-kelamaan, ingatan juga akan kita lupakan (kecuali Anda seorang ninja yang memiliki kemampuan mengingat yang luar biasa).
Dalam rangka (1)mencatat, (2)menyimpan, serta (3)menyebarkan kembali informasi dan pengetahuan yang didapatkan dari kata-kata verbal, orang mulai berinisiatif untuk menuliskannya.
Sebagai informasi, menurut catatan sejarah, bentuk dan konsep menulis muncul pertama kali pada tahun 3400 hingga 3300 sebelum masehi di Sumeria (daerah Mesopotamia), sedangkan berkomunikasi dengan cara "berbicara" satu sama lain diperkirakan sudah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak 50.000 hingga 2 juta tahun yang lalu.
Berbicara dulu baru menulis, itulah urutan proses evolusi cara berkomunikasi manusia (dari bahasa tubuh/ isyarat, bicara verbal, menulis, sampai dengan cuitan di twitter ;D).
Walakin, ternyata hal ini tidak berlaku dalam seni beladiri.
Dalam latihan seni beladiri, urutannya menjadi terbalik:
Jurus/ kata/ poomsae/ tan'en hokei => aplikasi (baca: berkelahi/ bertanding)-nya.
"Menulis" (atau dalam hal ini "membaca") dulu baru "berbicara".
Kenapa saya bilang kalau aplikasi jurus itu sama dengan berbicara? Berkelahi (atau bertanding) adalah salah satu bentuk komunikasi (hanya saja sedikit lebih barbar) antara dua individu atau lebih. Tetapi--seperti halnya peribahasa "biarkan tinju yang bicara"--alih-alih menggunakan kata-kata sebagai medianya, berkelahi menggunakan pukulan (dan juga tendangan, tangkisan, bantingan, serta kuncian) sebagai sarana untuk menyampaikan pesan kepada lawan "bicara".
Dan seperti halnya omongan yang menghilang segera setelah diucapkan, teknik-teknik pukulan dan tendangan itu juga akan menghilang segera setelah dilancarkan. Nah, untuk "mencatat" teknik-teknik tersebut supaya tidak hilang dan bisa diajarkan kembali kepada orang lain, orang (-orang)--yang saya sebut sebagai pionir seni beladiri--kemudian menciptakan suatu bentuk gerakan baku yang terinspirasi dari pergulatan fisik yang baru saja dialaminya.
Bentuk gerakan baku yang merupakan simulasi dari perkelahian inilah yang kemudian disebut sebagai jurus/ kata/ poomsae/ tan'en hokei.
Meskipun dalam latihan beladiri modern kita selalu diajari bentuk tunggal (tandoku) terlebih dulu baru kemudian belajar bagaimana cara meng-aplikasi-kannya dalam konteks beladiri (secara berpasangan dengan rekan latihan), hal yang sebaliknya-lah yang sebetulnya harus kita lakukan.
Kenapa? Karena (secara teori) proses penciptaan seni beladiri dilakukan dengan urutan yang sebaliknya.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, perlukah kita membalik (kembali) proses latihan beladiri kita?
Jawaban saya adalah: tidak perlu.
Karena seperti halnya kita bisa mempelajari banyak hal dari tulisan-tulisan karya orang lain, kita juga bisa belajar banyak dari "tulisan-tulisan" para ahli beladiri di masa lalu.
Daripada berkelahi yang tentu saja menyakitkan dan beresiko tinggi, bukankah jauh lebih aman (dan lebih tidak menyakitkan) untuk mempelajari 'catatan'-nya saja?
Dan itulah cara berlatih beladiri yang saya anjurkan, "membaca catatan" di tempat latihan, dan semoga tidak perlu meng-"ucapkan"-nya di luar sana.
Selamat berlatih.
0 komentar:
Post a Comment