Akhir pekan kemarin saya baru saja kembali ke kota Ma**ng setelah pulang kampung kota ke kota kelahiran saya Ma**un.
Kebetulan agen travel yang saya tumpangi memiliki armada baru berupa mobil H*ace. Mobil baru ini terasa lebih lega dan lebih nyaman kalau dibandingkan dengan mobil yang lama (biasanya mobil yang digunakan adalah L*xio).
Meskipun lebih nyaman, armada baru ini ternyata sedikit lebih lambat daripada armada yang lama. Kalau biasanya perjalanan dari kota Ma**un ke kota Ma**ng ditempuh dalam waktu sekitar 5 jam saja, kali ini saya membutuhkan waktu 6 jam lebih. Maklum karena mobilnya (lebih) besar dan penumpangnya (lebih) banyak, sopir mobil tidak bisa mengemudikan mobilnya (baca: ngebut) seperti saat mengemudikan mobil yang lama. Bodi yang besar membuat manuver mobil baru ini sedikit lebih tidak lincah kalau dibandingkan dengan mobil yang lama.
Kebetulan agen travel yang saya tumpangi memiliki armada baru berupa mobil H*ace. Mobil baru ini terasa lebih lega dan lebih nyaman kalau dibandingkan dengan mobil yang lama (biasanya mobil yang digunakan adalah L*xio).
Meskipun lebih nyaman, armada baru ini ternyata sedikit lebih lambat daripada armada yang lama. Kalau biasanya perjalanan dari kota Ma**un ke kota Ma**ng ditempuh dalam waktu sekitar 5 jam saja, kali ini saya membutuhkan waktu 6 jam lebih. Maklum karena mobilnya (lebih) besar dan penumpangnya (lebih) banyak, sopir mobil tidak bisa mengemudikan mobilnya (baca: ngebut) seperti saat mengemudikan mobil yang lama. Bodi yang besar membuat manuver mobil baru ini sedikit lebih tidak lincah kalau dibandingkan dengan mobil yang lama.
Dengan kata lain, armada baru ini kalah cepat, tetapi jauh lebih nyaman kalau dibandingkan dengan armada yang lama.
Pengalaman ini mengingatkan saya bahwa untuk mendapatkan sesuatu, kita harus mengorbankan sesuatu yang lain.
Menabung, berkorban untuk mendapatkan sesuatu (gambar dari pxhere.com) |
Jawaban dari pertanyaan itulah yang akan menjadi konten dari postingan saya kali ini.
Sebelum membahas lebih jauh, saya akan sedikit menjelaskan tentang pusat gravitasi di tubuh manusia. Pusat gravitasi (centre of gravity = COG) tubuh manusia adalah titik imajiner dimana gaya gravitasi bekerja dan mempengaruhi tubuh kita. Atau dengan kata lain, titik dimana masa tubuh manusia terkonsentrasi (bukan terfokus).
Secara anatomis, titik pusat gravitasi ini terletak sedikit di depan tulang punggung sacral kedua. Meskipun secara presisi letak titik ini selalu berubah-ubah--tergantung pada posisi dan juga proporsi tubuh seseorang--letaknya tidak akan berpindah terlalu jauh. Tetapi yang pasti, pusat gravitasi ini berkaitan erat dengan stabilitas (dan pada akhirnya keseimbangan) tubuh manusia. Dan uniknya, titik letak COG ini adalah titik yang sama dimana tanden berada.
Seperti yang kita semua tahu, arah gaya gravitasi yang bekerja melalui tubuh kita adalah kebawah, menuju pusat bumi, dan melalui pusat gravitasi. "Garis" gravitasi ini sangat penting untuk kita pahami untuk bisa menjaga (dan juga merusak) keseimbangan. Saat garis gravitasi ini berada di dalam area dasar pendukung (base of support = BOS), sesuatu atau seseorang akan berada dalam posisi stabil, dan sebaliknya saat garis gravitasi ini berada di luar BOS, sesuatu atau seseorang akan berada dalam posisi yang tidak stabil.
Karena garis gravitasi ini harus berada di dalam BOS untuk memenuhi kriteria stabil, dua faktor berikut ini harus diperhatikan:
- Semakin besar BOS, semakin besar pula stabilitas (baca postingan saya tentang keseimbangan dalam seni beladiri), dan
- Semakin rendah COG, semakin besar pula stabilitas.
Semakin rendah kamae kita, semakin dalam kita menekuk lutut kita saat ber-kamae, atau dengan kata lain semakin dekat posisi tubuh kita dengan permukaan tanah, semakin stabil pula tubuh kita. Bayangkan saja seperti ini, untuk bisa memindahkan posisi seseorang yang berdiri secara alami (lutut tidak ditekuk), kita cukup melakukan tarikan atau dorongan ringan saja. Tetapi bagaimana dengan seseorang yang posisinya duduk?
Dan dengan semakin stabilnya tubuh kita, tenaga pukulan dan tendangan kita pun ostosmastis... *ehem* otomatis akan semakin besar.
Tetapi untuk mendapatkan stabilitas yang besar, ada sesuatu yang harus dikorbankan.
Ya, benar, kecepatan.
Kira-kira lebih cepat mana seseorang berpindah tempat, dari posisi berdiri atau dari posisi duduk?
Itulah sebabnya banyak aliran seni beladiri yang mengambil jalan tengahnya, kecepatannya dapet tetapi juga masih bisa mempertahankan stabilitas. Bagaimana caranya? Dengan cara menekuk lutut dengan sudut sekitar 15-30 derajat.
Tetapi kembali lagi ke tujuannya, seni beladiri yang mengandalkan kecepatan akan memilih posisi kamae yang lebih "tinggi", sedangkan seni beladiri yang mengandalkan kekuatan tentu akan memilih posisi kamae yang lebih "rendah".
Satu hal yang pasti, seperti halnya saat naik travel saya tidak bisa mendapatkan kenyamanan sekaligus waktu perjalanan yang singkat, kita tidak akan bisa mendapatkan 100% kecepatan dan 100% stabilitas dalam waktu yang bersamaan. Itulah kenyataannya.
Tetapi untuk mendapatkan stabilitas yang besar, ada sesuatu yang harus dikorbankan.
Ya, benar, kecepatan.
Kira-kira lebih cepat mana seseorang berpindah tempat, dari posisi berdiri atau dari posisi duduk?
Itulah sebabnya banyak aliran seni beladiri yang mengambil jalan tengahnya, kecepatannya dapet tetapi juga masih bisa mempertahankan stabilitas. Bagaimana caranya? Dengan cara menekuk lutut dengan sudut sekitar 15-30 derajat.
Tetapi kembali lagi ke tujuannya, seni beladiri yang mengandalkan kecepatan akan memilih posisi kamae yang lebih "tinggi", sedangkan seni beladiri yang mengandalkan kekuatan tentu akan memilih posisi kamae yang lebih "rendah".
Satu hal yang pasti, seperti halnya saat naik travel saya tidak bisa mendapatkan kenyamanan sekaligus waktu perjalanan yang singkat, kita tidak akan bisa mendapatkan 100% kecepatan dan 100% stabilitas dalam waktu yang bersamaan. Itulah kenyataannya.
0 komentar:
Post a Comment