"Gyaku tsuki"
Makanan apa lagi nih? Mungkin Anda bertanya-tanya.
Dan bukan, meskipun memang terbuat dari daging, kulit, dan juga tulang ;p, gyaku tsuki bukanlah nama sebuah makanan.
Kalau Anda sedang (atau pernah) belajar seni beladiri asal Jepang, Anda tentunya tahu arti dari dua kata tersebut. Ya, benar, secara garis besar gyaku tsuki berarti "pukulan dengan menggunakan tangan belakang".
"Tangan belakang? Bukannya tangan manusia itu cuma ada dua yaitu tangan kiri dan tangan kanan? Mana ada tangan belakang?". Pertanyaan bodoh saya tahu ;D.
Kalau Anda berdiri dalam sikap zen kutsu dachi ataupun ko kutsu dachi, tentunya akan ada salah satu tangan (dan kaki) Anda yang berada di posisi depan dan tangan (serta kaki) yang satu lagi berada di posisi belakang. Nah, posisi tangan (atau kaki) yang berada di belakang itulah yang disebut sebagai "gyaku", kebalikannya posisi tangan (ataupun kaki) yang berada di depan disebut sebagai "jun".
Anda mungkin tahu artinya, namun tahukah Anda kalau penulisan "gyaku tsuki" tersebut sama sekali tidak benar?
To the point aja ya, itulah akibatnya kalau kita belajar seni beladiri asal Jepang tapi tidak mau belajar sedikit bahasa Jepang.
Image by Christine Sponchia | Pixabay |
Tahukah Anda bahwa bahasa Jepang adalah bahasa yang sedikit aneh (?): huruf 'u' di akhir kata seringkali tidak dibaca, huruf 'n' yang terletak di depan huruf 'b' atau 'p' dibaca 'm', akhiran huruf 'n' dibaca 'ng', dan masih banyak lagi keanehan-keanehan yang lain; termasuk kata yang sama yang dibaca berbeda tergantung pada letaknya. Misalnya kata 'tendangan': dibaca 'keri' apabila berdiri sendiri dan kalau terletak di depan kata lain (mis. 'keri age'); dan dibaca 'geri' kalau terletak di belakang kata lain (mis. 'jun geri'). [Dan tahukah Anda bahwa kata 'geri' yang berdiri sendiri artinya adalah 'diare'?]
Demikian pula kata 'pukulan', dibaca 'tsuki' kalau berdiri sendiri atau jika mendahului kata lain (mis. 'tsuki komi'); dan dibaca (serta ditulis) 'zuki' apabila letaknya di belakang kata lain.
Jadi penulisan yang benar adalah 'gyaku zuki' dan bukan 'gyaku tsuki'.
Karena itulah kalau kita belajar suatu seni beladiri, pelajari juga segala tetek bengek seni beladiri tersebut. Kalau kita belajar pencak silat (terutama yang berasal dari Jawa Timur atau Jawa Tengah), alangkah baiknya kalau kita juga mempelajari budaya jawa, belajar bahasa jawa (ngoko, krama alus, maupun krama inggil), dan belajar unggah-ungguh orang jawa; kalau kita belajar taekwondo misalnya, pelajari juga sedikit budaya Korea dan bahasanya (dan nonton drakor pastinya); atau seumpama kita belajar karate, pelajari juga bahasa Jepang dan budayanya, tonton juga JA... ups lupakan.
Memang sih, mempelajari budaya dan bahasa asal suatu seni beladiri tidak akan berpengaruh langsung terhadap penguasaan seni beladiri-nya (meskipun tetap ada pengaruhnya), tetapi tanpa pengetahuan itu (kemungkinan besar) kita akan mengalami kesulitan saat mengajarkan kembali seni beladiri tersebut.
Sama seperti saat berpacaran kita tidak hanya berupaya untuk lebih mengenal pacar kita saja tetapi juga keluarga dan saudara-saudaranya, belajar beladiri juga tidak hanya sekedar mempelajari beladiri-nya saja melainkan juga budaya asal seni beladiri tersebut termasuk bahasa, sejarah, falsafah, dan filosofinya.
Sebab siapa lagi yang mau peduli dengan pac... eh maksud saya seni beladiri kita kalau bukan kita sendiri?
0 komentar:
Post a Comment