Pariwara

Followers

Delapan... eh Dua Gerbang Seni Beladiri

Posted by Yonatan Adi on 5:55 PM

"Pengantar dan penjemput hanya sampai gerbang"
 
Pastinya Anda pernah (atau bahkan sering) membaca tulisan semacam itu bukan?

Ya, tulisan yang biasa ada di gerbang sekolah ini pastinya sudah bukan barang (atau tulisan??) baru terutama bagi Anda yang memiliki putra/ putri usia sekolah.
 
Tetapi pernahkah Anda bertanya-tanya kenapa sih si pengantar (dan penjemput) hanya diperbolehkan mengantar (dan menjemput) sampai gerbang saja dan tidak boleh masuk ke dalam?

Tanya mbah gugel ya, karena bukan itu yang mau saya bahas ;D.

Benar sekali, yang akan (sedikit) saya bahas disini adalah "gerbang"-nya, dan bukan "alasan kenapa tidak boleh masuk"-nya.


(Intro yang gak penting saya tahu hihihi)
......
 
Kata gerbang (atau gapura) berasal dari bahasa sansekerta "gopuram" yang berarti pintu masuk. Gerbang adalah tempat keluar atau masuk dari/ ke suatu kawasan tertutup yang dikelilingi oleh pagar ataupun tembok. Biasanya sih kita bisa menjumpai bangunan gerbang atau gapura ini di kompleks sekolah, universitas, perumahan, padepokan, keraton, pura, ataupun candi. Selain itu, kita juga bisa menemukannya di perbatasan kota ataupun wilayah.
 
Secara garis besar ada dua macam bentuk gerbang: "koriagung" yaitu gerbang yang memiliki semacam atap di atasnya; dan "bentar" yakni gerbang yang berupa dua struktur (bisa berupa tiang, batu, ataupun bangunan lain) yang berdiri sejajar mengapit suatu jalur.
 
Torii, gerbang ala Jepang (gambar dari pxhere)
Selain berguna untuk mencegah atau mengendalikan arus masuk-keluarnya orang, gerbang atau gapura ini biasanya juga berfungsi sebagai tanda batas dari suatu wilayah. Malahan, menurut saya, gerbang sebagai tanda batas wilayah ini tidak hanya ter-(*ehem*)"batas" pada aspek fisik semata tetapi juga aspek mental bahkan spiritual.
 
Saya beri contoh--karena blog ini tentang seni beladiri--gerbang padepokan silat misalnya, sebelum masuk melalui pintu gerbangnya, kita bebas berpakaian dan bertingkah laku sekehendak kita [bicara kotor (bukan ngomong kata "kotor" tapi Anda tahulah maksud saya ;D) misalnya], tetapi begitu kita melangkahkan kaki melewati gerbang dan berada di dalam wilayah padepokan, tentunya ada berbagai aturan (dan larangan) yang wajib dipatuhi (dan yang tak boleh kita lakukan). Wajib memakai pakaian sesuai dengan ketentuan perguruan silat yang bersangkutan misalnya, kita juga harus mampu mengekang mulut "kotor" kita kalau tidak mau menerima akibatnya (coba saja kalau tidak percaya, tapi jangan bilang saya tidak memperingatkan Anda).
 
Tetapi tahukah Anda bahwa selain ada bangunan gerbang yang bisa kita lihat (dan kita sentuh), di perguruan beladiri (dojo, dojang, padepokan, atau apapun Anda menyebutnya) ada pula gerbang lain yang tak kasat mata? Dan seperti halnya bangunan fisik gerbangnya yang menjadi tanda batas antara dunia 'luar' dan dunia 'jalan hidup', gerbang astral ini juga menjadi pembatas dua dunia yaitu dunia "nyata" dan dunia "pura-pura"?
 
Dan bukan... bukan "gerbang" yang ini.
Di seni beladiri yang saya dalami, "gapura" ini dikenal sebagai "sazen".
 
Kita semua tahu bahwa saat berlatih beladiri, kita harus melupakan (kendatipun hanya sementara) semua masalah kita di luar sana. Kita harus melupakan tagihan rekening PLN, kita harus melupakan tugas-tugas yang belum terselesaikan, kita harus melupakan gebetan kita yang sedang didekati oleh orang lain (bukan curhat '-'v); singkat kata kita harus melupakan semua beban dan tanggung jawab kita di luar sana dan mencurahkan segenap pikiran dan perasaan kita pada proses latihan.

Nah, sazen atau meditasi duduk ini bertujuan untuk menenangkan pikiran sehingga pikiran kita tidak lagi terganggu dengan perkara (-perkara) hidup kita itu dan bisa berkonsentrasi sepenuhnya pada hal yang akan kita lakukan (latihan beladiri dalam hal ini). Sazen menjadi "gerbang" pembatas antara pikiran yang sibuk nan tewur dengan pikiran yang tenang dan siap untuk belajar.
 
Sayangnya, di banyak dojo beladiri, sazen telah ter-reduksi menjadi sekedar upacara formalitas untuk memenuhi tuntutan tradisi, serta melupakan makna dan tujuan sebenarnya dari "mokuso" (moku = mengosongkan; so = pikiran) ini.
 
Dan itu baru sazen sebagai "gerbang masuk", belum lagi sazen sebagai "gerbang keluar".
 
Ya benar, setelah selesai melakukan latihan beladiri, kita seharusnya juga melakukan sazen untuk "melupakan" semua teknik beladiri yang telah kita pelajari (dan kita "praktekkan"), dan juga untuk melupakan betapa "jago"-nya diri kita di dalam tempat latihan untuk kembali ke dunia nyata, dunia dimana teknik-teknik beladiri (semoga) tidak akan pernah kita butuhkan.
 
[Dan sebelum Anda protes, saya tidak bilang kalau seni beladiri yang kita pelajari tidak akan berguna dalam kehidupan, seni beladiri justru sangat relevan untuk kita terapkan dalam kehidupan. Mungkin tidak dengan keterampilan "berkelahi"-nya, tetapi banyak keterampilan lainnya yang akan sangat menolong kita dalam kehidupan: keterampilan untuk tetap tenang menghadapi segala sesuatu, keterampilan untuk bushido, keterampilan untuk bisa diandalkan oleh orang lain, dan masih banyak lagi yang lainnya.]
 
Jadi sudahkah Anda membangun "gerbang" dalam latihan beladiri Anda? Atau masihkah dunia "nyata" dan dunia "khayalan" Anda bercampur menjadi satu? 


Nama Anda
New Johny WussUpdated: 5:55 PM

0 komentar:

Post a Comment

Copyscape

Protected by Copyscape
Powered by Blogger.

Paling Dilihat

CB