Saat itu saya sedang mengendarai mobil Chevrolet Camaro berwarna biru (warna favorit saya betewe). Karena jalanan kebetulan sedang sepi, saya pun memacu mobil saya dengan kecepatan yang cukup tinggi.
Dasar pemberani (atau nekad?), meskipun melihat ada tikungan sekitar 300 meter di depan, saya tidak mengurangi kecepatan mobil saya. "Ah, biasanya menikung dengan kecepatan tinggi juga bisa," batin saya dalam hati.
Sialnya, ternyata ekspektasi saya sangat berbeda dengan kenyataan yang terjadi. Saat menikung dengan kecepatan sekitar 70 km/jam, ban mobil yang saya kendarai selip sehingga mobil pun tergelincir dan menghantam dinding pembatas jalan.
.........
Dasar pemberani (atau nekad?), meskipun melihat ada tikungan sekitar 300 meter di depan, saya tidak mengurangi kecepatan mobil saya. "Ah, biasanya menikung dengan kecepatan tinggi juga bisa," batin saya dalam hati.
Sialnya, ternyata ekspektasi saya sangat berbeda dengan kenyataan yang terjadi. Saat menikung dengan kecepatan sekitar 70 km/jam, ban mobil yang saya kendarai selip sehingga mobil pun tergelincir dan menghantam dinding pembatas jalan.
.........
Untungnya, kejadian ini hanya terjadi di dalam "Gran Tourismo", sebuah game simulasi balap yang cukup terkenal.
Berbeda dengan game balap lain--yang dengan hanya menginjak pedal (atau menekan tombol) gas dan sedikit mengerem di sana sini kita bisa memenangkan balapan--"Gran Tourismo" membutuhkan tingkat presisi yang cukup tinggi. Harus benar-benar tahu kapan waktu yang tepat untuk mengurangi kecepatan saat menikung adalah salah satu contohnya. Karena itulah Sony menyebut genre game ini sebagai game simulasi balap (dan bukan game balap saja).
Simulasi
Kata inilah yang akan menjadi inti dari bahasan kita kali ini.
Namun sebelumnya, apa sih simulasi itu? Menurut sensei Kabe Be'i simulasi adalah (1) metode pelatihan yang memperagakan sesuatu dalam bentuk tiruan yang mirip dengan keadaan yang sesungguhnya; (2) penggambaran suatu sistem atau proses dengan peragaan berupa model statistik atau pemeranan.
Screenshot dari game "The Sims 4", sebuah game "simulasi kehidupan" [image credit: vanessarocksmyworld0] |
Disini kita perlu menggarisbawahi kata "mirip". Simulasi tidak mungkin sama persis dengan keadaan yang sebenarnya. Pasti ada beberapa unsur yang hilang.
Saya pernah membaca artikel di tabloit B*la tentang seorang pembalap Formula 1 (Sebastian Vettel kalau tidak salah) yang gemar memainkan game balap F1 saat menunggu sesi balapan berikutnya. Sang pembalap berkomentar kurang lebih seperti ini: "Game F1 di Playstation sangat mirip dengan aslinya. Saya biasa memainkan game ini untuk menghapal lintasan sirkuit, serta untuk mengetahui kapan (dan dimana) saya harus menekan pedal gas dan kapan saya harus mengurangi kecepatan. Tetapi semirip apapun itu, game ini tidak bisa mensimulasikan tekanan psikologis serta G-force yang dialami oleh si pembalap saat berada di dalam ruang kemudi."
Saya pernah membaca artikel di tabloit B*la tentang seorang pembalap Formula 1 (Sebastian Vettel kalau tidak salah) yang gemar memainkan game balap F1 saat menunggu sesi balapan berikutnya. Sang pembalap berkomentar kurang lebih seperti ini: "Game F1 di Playstation sangat mirip dengan aslinya. Saya biasa memainkan game ini untuk menghapal lintasan sirkuit, serta untuk mengetahui kapan (dan dimana) saya harus menekan pedal gas dan kapan saya harus mengurangi kecepatan. Tetapi semirip apapun itu, game ini tidak bisa mensimulasikan tekanan psikologis serta G-force yang dialami oleh si pembalap saat berada di dalam ruang kemudi."
"You can only fight the way you practice" - Miyamoto Musashi
Kalau kita berlatih asal-asalan, cengengesan, ataupun melakukan teknik-teknik tendangan dan atau pukulan ala kadarnya saja, maka dalam perkelahian yang sebenarnya teknik kita pun akan menjadi asal-asalan dan tidak efektif.
Lebih jauh lagi, berlatih asal-asalan tidak hanya "berbahaya" bagi diri kita sendiri tetapi juga membahayakan rekan latihan kita (meskipun doski berlatih dengan sungguh-sungguh).
Saya ngerti kalau berlatih asal-asalan itu tidak bagus buat kita, tetapi berbahaya bagi rekan latihan? Kok bisa?
Di seni beladiri yang saya dalami, latihan berpasangan sangatlah diutamakan. Di dalam latihan, peran penyerang dan bertahan ini akan dilakukan secara bergantian.
Sekarang bayangkan seandainya kita, sebagai penyerang, "menyerang" pasangan latihan kita dengan asal-asalan (entah itu kurang bertenaga, tidak tepat sasaran, atau keduanya). Pasangan latihan kita (sebut saja Jon), yang berperan sebagai pihak yang bertahan, tentu akan merespon "serangan" tersebut dengan waza (teknik beladiri) yang sudah ditentukan. Karena "serangan" yang kita lakukan asal-asalan, respon Jon (entah itu menangkis, berkelit, ataupun menyerang balik)--yang meskipun sebenarnya dilakukan dengan sungguh-sungguh--akan menjadi "asal-asalan" juga.
Kok bisa?
Sekarang bayangkan seandainya kita, sebagai penyerang, "menyerang" pasangan latihan kita dengan asal-asalan (entah itu kurang bertenaga, tidak tepat sasaran, atau keduanya). Pasangan latihan kita (sebut saja Jon), yang berperan sebagai pihak yang bertahan, tentu akan merespon "serangan" tersebut dengan waza (teknik beladiri) yang sudah ditentukan. Karena "serangan" yang kita lakukan asal-asalan, respon Jon (entah itu menangkis, berkelit, ataupun menyerang balik)--yang meskipun sebenarnya dilakukan dengan sungguh-sungguh--akan menjadi "asal-asalan" juga.
Kok bisa?
Karena serangan kita kurang cepat, kurang bertenaga, dan atau (terutama) tidak tepat sasaran, Jon--yang tentu saja berhasil 'selamat' dari serangan kita--akan merasa bahwa dengan kecepatan, tenaga, dan atau lebar gerakan segitu saja sudah cukup baginya untuk luput dari serangan.
Di dalam otak Jon akan tertanam pikiran: "Ooo, dengan kecepatan, tenaga, dan lebar gerakan segitu, aku sudah bisa mengatasi serangan seperti itu."
Inilah yang berbahaya.
Seandainya diluar sana Jon mendapat serangan yang sama dari seseorang (yang tentu saja sangat cepat, bertenaga, dan juga tepat sasaran), dan Jon merespon serangan itu persis seperti yang dia lakukan dalam latihan (yang dipikirnya sudah cukup), Anda tentu tidak perlu saya beritahu apa yang akan terjadi bukan?
Ini masih soal kecepatan, tenaga, dan ketepatan sasaran serangan saja. Belum lagi dengan intimidasi lawan, serta rasa kaget, takut, dan gugup yang tentu saja akan sangat menguras mental (dan fisik) kita.
Kalau kita ingin selamat diluar sana, latihan kita harus dikondisikan semirip mungkin dengan keadaan sebenarnya (di luar tempat latihan).
Di dalam otak Jon akan tertanam pikiran: "Ooo, dengan kecepatan, tenaga, dan lebar gerakan segitu, aku sudah bisa mengatasi serangan seperti itu."
Inilah yang berbahaya.
Seandainya diluar sana Jon mendapat serangan yang sama dari seseorang (yang tentu saja sangat cepat, bertenaga, dan juga tepat sasaran), dan Jon merespon serangan itu persis seperti yang dia lakukan dalam latihan (yang dipikirnya sudah cukup), Anda tentu tidak perlu saya beritahu apa yang akan terjadi bukan?
Ini masih soal kecepatan, tenaga, dan ketepatan sasaran serangan saja. Belum lagi dengan intimidasi lawan, serta rasa kaget, takut, dan gugup yang tentu saja akan sangat menguras mental (dan fisik) kita.
Kalau kita ingin selamat diluar sana, latihan kita harus dikondisikan semirip mungkin dengan keadaan sebenarnya (di luar tempat latihan).
Ilustrasi berbagai tekanan mental [image credit: johnhain] |
Terus latihan kita harus seperti apa?
#1. Latihan fisik
Latihan fisik adalah menu wajib, "habiskan" dulu fisik kita sebelum masuk ke sesi latihan yang sebenarnya. Kalau kita terbiasa melalui proses latihan yang berat dengan kondisi fisik yang sudah "habis", harapannya kita akan bisa menghadapi serangan diluar sana terlepas dari bagaimana kondisi fisik kita saat itu.
#2. Lakukan 'serangan' dengan sungguh-sungguh
Meskipun cuma latihan, serangan-serangan yang kita lakukan haruslah cepat dan bertenaga (namun tetap terkontrol tentu saja), selain itu serangan kita juga harus tepat sasaran sehingga respon/ gerakan bertahan yang dilakukan oleh rekan latihan yang kita "serang" juga akan menjadi sungguh-sungguh.
#3. Tambahkan unsur intimidasi
Kalau perlu, kita juga bisa menambahkan unsur intimidasi dalam serangan kita. Bentakan, makian, atau ancaman mungkin bisa kita tambahkan dalam serangan kita. Kata-kata seperti "jan@#$", "kubunuh kau", dan sebagainya bisa Anda gunakan untuk "mengintimidasi" rekan latihan Anda (ingat untuk minta ijin dari sensei/ pelatih Anda terlebih dulu). Atau Anda juga bisa memasang muka garang saat "menyerang" rekan latihan Anda.
#4. Lakukan segala sesuatunya dengan "sempurna"
Teknik-teknik beladiri (termasuk di dalamnya waza, jurus/ kata, serta gerakan-gerakan kihon) harus dilakukan dengan sempurna, baik itu bentuk, tenaga, ataupun timingnya.
Kenapa?
Kembali ke contoh di atas, seandainya kita mampu menyelesaikan balapan dalam game "Gran Tourismo" dengan sempurna (finish terdepan, tidak pernah sekalipun menabrak atau tergelincir), apakah di balapan sebenarnya (dengan mobil yang sebenarnya) kita juga akan mampu melakukannya?
Belum tentu.
Begitu pula dalam beladiri. Latihan yang sempurna saja diluar sana bisa (dan akan) menjadi 'kacau', apalagi latihan yang berantakan.
"You may train for a long time, but if you merely move your hands and feet and jump up and down like a puppet, learning karate is not very different from learning a dance" - Funakoshi Gichin
Dan yang perlu diingat--karena latihan beladiri hanyalah sebuah simulasi--meskipun kita sudah menjadi "jagoan" di dalam dojo/ tempat latihan, kendati kita bisa dengan mudah mengatasi berbagai macam serangan di dalam latihan, walaupun kita bisa tetap tenang menghadapi "intimidasi" dari rekan latihan, di luar sana belum tentu kita bisa sehebat itu.
Setuju dengan saya?
0 komentar:
Post a Comment