Baru-baru ini saya membaca sebuah cerita yang cukup menarik, cerita tersebut berjudul "Guko Memindahkan Bukit".
Begini ceritanya:
"Dahulu kala,di suatu daerah di negeri Cina, hiduplah seorang kakek tua bernama Guko. Di depan rumahnya terdapat sebuah bukit yang cukup tinggi, dan setiap kali hendak pergi atau pulang ke rumahnya, si kakek harus mendaki bukit tersebut. Suatu hari, si kakek--yang sudah capek mendaki bukit tersebut setiap harinya--akhirnya memutuskan untuk 'memindahkan' bukit tersebut dengan cara menggali dan meratakannya dengan dibantu oleh anak dan cucunya. Tentu saja ide tersebut menjadi bahan tertawaan para tetangga dan orang-orang disekitarnya, mereka menganggap ide untuk meratakan bukit adalah hal yang konyol dan tidak akan mungkin dilakukan. Tetapi hal ini tidak menyurutkan niat kakek Guko. Ia menjawab sindiran mereka dengan berkata: "Bahkan saat aku mati, aku masih punya seorang anak. Anakku itu akan menurunkan cucu bagiku, cucuku akan menurunkan cicit dan seterusnya. Anakku akan mengikuti jejakku, demikian pula anak dari anakku itu, begitu seterusnya. Dan karena bukit ini tidak akan bertambah tinggi, apabila kami semua terus dan terus menggali, tidak akan ada yang bisa menghalangi kami untuk memindahkan bukit ini."
Begini ceritanya:
"Dahulu kala,di suatu daerah di negeri Cina, hiduplah seorang kakek tua bernama Guko. Di depan rumahnya terdapat sebuah bukit yang cukup tinggi, dan setiap kali hendak pergi atau pulang ke rumahnya, si kakek harus mendaki bukit tersebut. Suatu hari, si kakek--yang sudah capek mendaki bukit tersebut setiap harinya--akhirnya memutuskan untuk 'memindahkan' bukit tersebut dengan cara menggali dan meratakannya dengan dibantu oleh anak dan cucunya. Tentu saja ide tersebut menjadi bahan tertawaan para tetangga dan orang-orang disekitarnya, mereka menganggap ide untuk meratakan bukit adalah hal yang konyol dan tidak akan mungkin dilakukan. Tetapi hal ini tidak menyurutkan niat kakek Guko. Ia menjawab sindiran mereka dengan berkata: "Bahkan saat aku mati, aku masih punya seorang anak. Anakku itu akan menurunkan cucu bagiku, cucuku akan menurunkan cicit dan seterusnya. Anakku akan mengikuti jejakku, demikian pula anak dari anakku itu, begitu seterusnya. Dan karena bukit ini tidak akan bertambah tinggi, apabila kami semua terus dan terus menggali, tidak akan ada yang bisa menghalangi kami untuk memindahkan bukit ini."
Pesan moral dari cerita ini adalah: kalau kita merasa tidak bisa menyelesaikan suatu hal/perkara yang terlihat mustahil, kita hanya perlu mengubah cara berpikir dan juga sudut pandang kita serta jangan pernah berhenti melakukannya, maka hal yang tidak mungkin pun akan menjadi mungkin.
Photo credit: bykst |
Sama seperti saat kita pertama kali berlatih sebuah waza/teknik baru. Ketika pelatih kita menunjukkan ataupun menjadikan kita korban... *ehem* mengaplikasikan waza tersebut pada kita untuk pertama kalinya, kita pasti merasa bahwa waza/teknik tersebut sangat jauh dari "jangkauan" kita. Kita (atau cuma saya ya?) merasa bahwa latihan 1000 tahun pun tidak akan cukup untuk bisa menguasai waza/teknik tersebut.
Tetapi, kalau kita mau mengubah sudut pandang dan cara berpikir kita, maka semuanya akan menjadi mudah.
Semua teknik/waza tingkat tinggi adalah pengembangan dari gerakan-gerakan dasar--dan yang saya maksud gerakan dasar disini bukan hanya gerakan-gerakan seperti memukul, menendang, ataupun menangkis saja; melainkan juga kamae, ashi sabaki, kuzushi, dan lain sebagainya. Kalau kita merasa "tidak akan mungkin" bagi kita untuk menguasai suatu waza/teknik, maka kemungkinan besar kita belum cukup melakukan kihon (latihan dasar).
Lakukan dan perbaiki (serta pahami) kihon Anda, serta jangan pernah berhenti berlatih. Cepat atau lambat Anda pasti akan menguasai teknik/waza tersebut. Kalau kata orang Jerman: "Witing bisa jalaran saka kulina" (yang secara harfiah berarti "bisa karena terbiasa").
Lebih jauh lagi, cerita kakek Guko ini juga menyiratkan semangat untuk mengenang para leluhur dan juga memikirkan anak cucu kita di masa yang akan datang serta keinginan untuk melakukan sesuatu bagi para penerus kita.
Dalam seni beladiri, itu berarti melestarikan ajaran dari shihan atau para sensei terdahulu untuk kemudian menurunkannya pada generasi selanjutnya.
Akan tetapi, yang saya maksud dengan 'melestarikan' disini bukanlah meniru secara membabi buta--dengan alasan tradisi--apa yang dilakukan oleh para guru besar kita [kecuali masalah teknik yang tentu saja harus meniru persis (pada awalnya), untuk kemudian mengubahnya, dan pada akhirnya 'membuat' teknik baru. Ingat shu - ha - ri] melainkan mencari tahu dan (berusaha) meraih apa yang dicari oleh para master tersebut.
Semua teknik/waza tingkat tinggi adalah pengembangan dari gerakan-gerakan dasar--dan yang saya maksud gerakan dasar disini bukan hanya gerakan-gerakan seperti memukul, menendang, ataupun menangkis saja; melainkan juga kamae, ashi sabaki, kuzushi, dan lain sebagainya. Kalau kita merasa "tidak akan mungkin" bagi kita untuk menguasai suatu waza/teknik, maka kemungkinan besar kita belum cukup melakukan kihon (latihan dasar).
Lakukan dan perbaiki (serta pahami) kihon Anda, serta jangan pernah berhenti berlatih. Cepat atau lambat Anda pasti akan menguasai teknik/waza tersebut. Kalau kata orang Jerman: "Witing bisa jalaran saka kulina" (yang secara harfiah berarti "bisa karena terbiasa").
Lebih jauh lagi, cerita kakek Guko ini juga menyiratkan semangat untuk mengenang para leluhur dan juga memikirkan anak cucu kita di masa yang akan datang serta keinginan untuk melakukan sesuatu bagi para penerus kita.
Dalam seni beladiri, itu berarti melestarikan ajaran dari shihan atau para sensei terdahulu untuk kemudian menurunkannya pada generasi selanjutnya.
Akan tetapi, yang saya maksud dengan 'melestarikan' disini bukanlah meniru secara membabi buta--dengan alasan tradisi--apa yang dilakukan oleh para guru besar kita [kecuali masalah teknik yang tentu saja harus meniru persis (pada awalnya), untuk kemudian mengubahnya, dan pada akhirnya 'membuat' teknik baru. Ingat shu - ha - ri] melainkan mencari tahu dan (berusaha) meraih apa yang dicari oleh para master tersebut.
Mengutip kata-kata bijak dari Matsuo Basho: "Do not seek to follow in the footsteps of the wise. Seek what they sought." Jangan cuma mengikuti jejak kaki para pendahulu kita, cari tahulah apa yang menjadi tujuan mereka. Jalannya (baca: caranya) mungkin (sedikit) berbeda tetapi tujuannya tetaplah sama.
0 komentar:
Post a Comment