Pariwara

Followers

Shu - Ha - Ri: Tiga Tahap Latihan Seni Beladiri

Posted by Yonatan Adi on 10:53 AM

Dalam seni beladiri, teori dan filosofi adalah dua bagian yang tak terpisahkan dari teknik-teknik beladiri-nya. Tanpa adanya pelajaran teori dan juga filosofi, seni beladiri hanya akan menjadi aktivitas olahraga "biasa".

Saya tidak tahu dengan seni beladiri yang lain, tetapi di seni beladiri yang saat ini sedang saya dalami, setiap kali mengikuti ujian kenaikan tingkat, Anda tidak hanya diuji praktek beladiri-nya (secara teknik, fisik, dan mental) saja, pengetahuan kita tentang teori dan filosofi juga ikut diuji.

Sebagai contoh, untuk dapat naik ke tingkat Kyu 1 (atau Dan 1 saya agak lupa) kita diminta untuk menjelaskan konsep "shu - ha - ri".

Anda pastinya pernah mendengar konsep tersebut bukan?

Ternyata, konsep shu - ha - ri--yang terdiri atas 3 karakter huruf kanji yang secara garis besar berarti 'mengikuti' - 'melepaskan diri' - 'melampaui'--ini tidak hanya menjadi milik dari seni beladiri saja. Selain (tentu saja) ditemukan dalam seni beladiri (budo), konsep ini juga bisa ditemukan pada berbagai macam bentuk seni yang lain seperti seni merangkai bunga (ikebana), upacara minum teh (chado), dan juga catur tradisional Jepang (go).

Dengan kata lain, konsep shu - ha - ri adalah sebuah konsep yang universal.

Tetapi apa sih sebenarnya arti dari shu - ha - ri dan darimana konsep ini berasal?
Mengikuti aturan - mengubah aturan - membuat aturan [sumber]
Menurut senpai Wikipedia, konsep shu - ha - ri pertama kali dicetuskan oleh Fuhaku Kawakami dalam Tao of Tea. Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Zeami Motokiyo, salah seorang pencipta "Noh" (drama musikal klasik Jepang) untuk kesenian ciptaannya, yang kemudian menjadi bagian dari filosofi seni beladiri.

Anehnya, masih menurut senpai Wikipedia, Zeami Motokiyo tercatat lahir pada tahun 1363 sementara Fuhaku Kawakami--yang dianggap sebagai pencetus konsep ini--lahir 400 tahun kemudian yaitu pada tahun 1716. Mungkinkah Zeami Motokiyo adalah seorang penjelajah waktu?

Kecuali Doraemon pernah berkunjung ke tahun 1300-an (dan membantu Zeami Motokiyo pergi ke masa depan dengan mesin waktunya) 😁, asal-usul konsep shu - ha - ri akan tetap menjadi misteri (paling tidak sampai dengan saat ini).

Shihan Endo Seishiro, salah seorang master aikido pernah berkata seperti ini:

"It is known that, when we learn or train in something, we pass through the stages of shu, ha, and ri. These stages are explained as follows. In 'shu', we repeat the forms and discipline ourselves so that our bodies absorb the forms that our forebears created. We remain faithful to these forms with no deviation. Next, in the stage of 'ha', once we have disciplined ourselves to acquire the forms and movements, we make innovations. In this process the forms may be broken and discarded. Finally, in 'ri', we completely depart from the forms, open the door to creative technique, and arrive in a place where we act in accordance with what our heart/mind desires, unhindered while not overstepping laws."

Intinya adalah:
  • dalam tahap 'shu' kita berlatih dengan cara menirukan (tanpa mengubah sedikitpun) bentuk dan juga gerakan-gerakan yang diajarkan oleh sensei/ pelatih kita secara berulang-ulang sampai tubuh kita terlatih dan "menyerap" gerakan dan bentuk tersebut,
  • dalam tahap 'ha' kita mulai melakukan improvisasi, menyesuaikan gerakan dan bentuk yang sudah kita "serap" dalam tahap 'shu' dengan postur tubuh dan pembawaan atau gaya kita masing-masing,
  • dan akhirnya dalam tahap 'ri' kita benar-benar terlepas dari bentuk; "menciptakan" bentuk (baru) sendiri akan tetapi masih tetap dalam pakemnya.
Kalau digambarkan dalam bentuk diagram lingkaran adalah sebagai berikut: 'shu' berada di dalam 'ha', 'shu' dan 'ha' berada di dalam 'ri'



[Bacaan terkait: Budomath: Seni Beladiri dan Matematika]

Menariknya, di dalam seni beladiri tradisional Tiongkok juga terdapat sebuah konsep yang mirip dengan shu - ha - ri ini yaitu 'di - ren - tian'.
  • di (bumi) => dasar
  • ren (manusia) => siap untuk belajar (dalam seni beladiri Jepang, tahap 'ren' ini mungkin sama dengan tingkat shodan).
  • tian (langit) => gerakan yang mengalir tanpa kita sadari. Tahap ini dicapai setelah melalui proses latihan yang panjang serta dalam jangka waktu yang lama
Untuk membantu Anda guna lebih memahami (atau mungkin menambah bingung 😁) konsep shu - ha - ri, berikut ini saya sajikan sebuah cerita yang cukup menarik.

Cerita ini memang tidak ada hubungannya sama sekali dengan seni beladiri tetapi di dalamnya tersirat (bukan tersurat) konsep dari shu - ha - ri. Begini ceritanya... 

Konon di sebuah kerajaan antah-berantah hiduplah seorang tukang batu bernama Ian (nama panjangnya Yanto, kalau Anda ingin tahu). Ketika Ian sedang bekerja memecahkan batu, lewatlah sang raja ditandu di atas kursi yang mewah, ditemani dayang-dayang dan pejabat istana serta dikawal oleh ratusan prajurit, setiap orang yang berpapasan dengan sang raja berhenti dan sujud menyembahnya.

"Pasti jadi raja itu enak" batin Ian. Ia menjadi iri dan ingin menjadi seorang raja. Tanpa diduga terjadi keajaiban dan Ian benar-benar berubah menjadi seorang raja.

Pada suatu hari ketika sedang berjalan-jalan bersama rombongannya, Ian (yang sekarang adalah seorang raja) merasa kepanasan, ketika mendongak ke atas ia melihat matahari yang bersinar dengan teriknya, tak terpengaruh oleh kehadirannya. Dasar tukang gerutu, Ian kembali bergumam "Enak ya jadi matahari, bisa bebas bersinar, membuat orang kepanasan". Ian pun berubah menjadi matahari.

Ketika sedang asyik menyinari bumi dan membuat semua orang kepanasan, tiba-tiba Ian merasakan kegelapan menyelimuti dirinya dan membuatnya tidak bisa melihat. Rupanya awan bergerak menutupi wajahnya dan menghalangi sinarnya. Ia juga mendengar orang-orang di bumi menyambut gembira sang awan yang membawa hujan dan mengutuki dirinya yang telah membawa kemarau panjang. Ian mulai iri pada awan dan berharap bisa menjadi awan. Ia pun secara ajaib berubah menjadi awan.

Belum lama menjadi awan, ia merasakan ada kekuatan yang menerpanya, sebuah kekuatan yang tidak bisa dilawannya. Ia kemudian menyadari bahwa kekuatan itu adalah angin yang sedang bertiup. Ian pun kembali bergumam "Enak ya jadi angin, bisa meniup apapun sesukanya, aku ingin menjadi angin". Maka berubahlah Ian menjadi angin.

Ketika sedang asyik memamerkan  kekuatannya, Ian melihat sesuatu yang tidak bisa diterbangkannya, sebongkah batu yang sangat besar. Sekuat apapun dia meniup, batu tersebut tetap tak bergeming. Timbullah rasa iri di hatinya. "Kuat sekali batu itu, seandainya aku bisa menjadi batu". Sekali lagi permintaannya terwujud dan ia pun berubah menjadi sebuah batu yang besar dan kokoh.

Saat sedang berdiri dengan gagahnya, Ian mendengar sebuah suara yang sangat familier: suara pukulan palu, ia juga merasakan rasa sakit di tubuhnya. Saat melihat ke bawah yang dilihatnya adalah... seorang tukang batu.

the end

Demikian yang bisa saya bagikan, semoga bermanfaat.


Sumber:


Nama Anda
New Johny WussUpdated: 10:53 AM

0 komentar:

Post a Comment

Copyscape

Protected by Copyscape

Blog Archive

Powered by Blogger.

Paling Dilihat

CB