Pariwara

Followers

Belajar Beladiri Otodidak? Bisa sih, Tapi...

Posted by Yonatan Adi on 2:21 PM

Akhir-akhir ini saya (semakin) dibuat jengkel dengan para pengguna jalan raya. Entah mobil, entah motor, (hampir) semua pengendara kendaraan bermotor seolah ngawur dalam berkendara. Mereka seperti tidak tahu (atau tidak peduli?) bahwa berkendara itu ada unggah-ungguh dan etikanya. Menyalip dari sebelah kiri untuk kemudian belok ke kanan, tidak mengindahkan rambu lalu lintas dan marka jalan, membunyikan klakson (berkali-kali pula) tanpa alasan yang jelas, menerobos lampu merah, berbelok ataupun menepi tanpa menyalakan lampu sein, tidak memakai helm, berjalan zig-zag, dan tidak mau mengalah adalah beberapa contohnya. Mereka seakan cuek dan tidak peduli kalau tindakannya itu bisa membahayakan tidak hanya dirinya sendiri tetapi juga pengendara lain.
 
Lantas kenapa sih para pengendara kendaraan di negeri +62 ini bisa berperilaku "ghaib" seperti itu? Menurut Agus Sani, Head of Safety Riding Promotion Wahana, perilaku pengendara seperti itu disebabkan karena kurangnya pengetahuan tentang etika berkendara. "(Hampir) semua pengendara di Indonesia hanya belajar mengenai teknik berkendaranya saja yang (itupun) dilakukan secara otodidak. Mereka tidak belajar tentang etika berkendara, rambu-rambu, dan cara berkendara yang aman," pungkas Agus seperti dikutip dari Kompas.com (2/10/2021).
 
Mungkin ini pula sebabnya pelat nomor kendaraan diganti menjadi berwarna putih, karena nyatanya banyak pengendara kendaraan yang masih minarai (= pemula) ;D.
 
Hal ini sebenarnya juga sudah lama menimbulkan pertanyaan di hati saya, kenapa saat mengajukan permohonan untuk mendapatkan Surat Ijin Mengemudi hanya keterampilan mengendarai kendaraan saja yang diuji, sedangkan pengetahuan tentang rambu-rambu lalu lintas (termasuk marka jalan) dan etika berkendara tidak dimasukkan ke dalam materi ujian. Padahal, seperti yang pernah saya bahas, etika (berkendara) jauh lebih penting daripada kepandaian (dan keterampilan mengendarai kendaraan). Karena seterampil apapun kita dalam berkendara, tanpa disertai etika (yang baik) kita hanya akan membuat jalanan menjadi tempat yang paling berbahaya di muka bumi.
 
Maka dari itu, saat belajar menyetir mobil ataupun sepeda motor, alangkah baiknya kalau kita tidak melakukannya secara otodidak, akan lebih baik kalau kita didampingi seorang mentor yang tidak hanya mengajarkan keterampilan berkendara saja tetapi juga mengajari etika dan cara berkendara yang aman.
 
Setali tiga uang, tidak beda dengan berkendara, belajar seni beladiri secara otodidak (kendati bisa dilakukan) juga bisa "membahayakan".
 
Selain berbahaya, sendirian itu juga menakutkan lho (gambar dari hippopx.com | CC0)
Seni beladiri, sesuai dengan namanya, adalah suatu bentuk seni untuk mem-beladiri. Akan tetapi--ini yang sering kurang dipahami--"mem-beladiri" tidak sama dengan "membela diri"; kalau membela diri berkaitan (hanya) dengan mempertahankan diri saja, mem-beladiri jauh lebih luas (dan lebih dalam) daripada itu.
 
Dengan belajar secara otodidak, kita mungkin telah berlatih "beladiri" dalam artian kita sudah berlatih cara-cara untuk membela diri kita secara fisik. Akan tetapi cara-cara untuk membela diri (atau lebih gamblangnya cara-cara untuk berkelahi) ini bukanlah seni beladiri melainkan hanyalah bagian dari seni beladiri. Seni beladiri (atau dalam hal ini "budo") adalah suatu disiplin ilmu yang mengajarkan bagaimana menjadi manusia seutuhnya melalui latihan fisik (teknik-teknik beladiri) dan juga tempaan mental-spiritual.
 
Dengan kata lain, seni beladiri tidak hanya mengajarkan cara untuk "berkelahi" saja, melainkan juga metode untuk menggembleng mental baik secara batin (ketabahan dan keberanian, jawa: tatag) maupun watak yaitu cara pandang seseorang dalam menyikapi hal-hal dalam kehidupannya; dan juga menempa spiritual melalui latihan meditasi, semedi, sazen, mokuso, atau apapun Anda menyebutnya dengan tujuan untuk menemukan potensi (dan kelemahan) diri serta menemukan arti dan tujuan hidup.
 
Tanpa didampingi seorang mentor, kita mungkin bisa "menguasai" aspek fisik dari seni beladiri, namun dua aspek lainnya (yang justru lebih penting) akan terluputkan dari perhatian kita.
 
Sayangnya, banyak pelatih beladiri di Indonesia yang kurang memperhatikan dua aspek (mental-spiritual) ini. Asalkan murid-muridnya jago bela diri, asalkan anak didiknya bisa menjadi pemenang di kejuaraan, mereka (para pelatih beladiri) sudah merasa cukup dan marem.
 
Padahal tanpa penguasaan mental-spiritual tujuan berlatih seni beladiri (yang sebenarnya) tidak akan pernah tercapai; tanpa mental-spiritual (baca: etika) yang baik dan benar, seorang praktisi beladiri hanya akan menjadi "tukang pukul", (dan seperti halnya keterampilan berkendara tanpa disertai etika berkendara yang baik) inilah yang berbahaya.
 
Tapi itu sih menurut saya, bagaimana dengan Anda?


Nama Anda
New Johny WussUpdated: 2:21 PM

0 komentar:

Post a Comment

Copyscape

Protected by Copyscape
Powered by Blogger.

Paling Dilihat

CB