![]() |
Vas Rubin oleh GDJ via pixabay.com |
Apa yang pertama kali Anda lihat dari gambar di atas? Vas bunga? atau dua siluet wajah?... Kalau saya sih melihat sebuah ide untuk menulis postingan hehehe.
Kata "ilusi" sendiri berasal dari kata dalam bahasa latin "illudere" yang berarti "mengolok-olok." Oleh sensei Kabe Be'i, ilusi didefinisikan sebagai sesuatu yang hanya (ada) dalam angan-angan; khayalan, atau pengamatan yang tidak sesuai dengan pengind(e)raan. Namun berbeda dengan halusinasi--yang mana tidak ada rangsangan yang nyata--, ilusi terjadi karena kesalahan persepsi otak dalam memproses suatu rangsangan yang memang benar-benar ada.
Kendati ilusi visual (penglihatan) adalah yang paling banyak dikenal, ilusi juga dapat terjadi pada salah satu (bahkan dua atau lebih) dari empat indera kita yang lain. Yep benar sekali, selain indera penglihatan, ilusi juga bisa dialami oleh indera pendengaran (disebut ilusi akustik), perabaan (taktil), penghidu atau pembau, pengecapan, dan bahkan pada persepsi waktu.
Ilusi optik itu sendiri dibagi menjadi dua kelompok besar: (1) ilusi fisiologis, dan (2) ilusi kognitif.
Ilusi fisiologis, seperti yang terjadi pada after images atau kesan gambar yang terjadi seusai melihat cahaya yang sangat terang atau selepas melihat pola gambar tertentu dalam waktu yang cukup lama.
Ilusi kognitif yang terjadi karena asumsi pikiran terhadap sesuatu di luar dirinya; yang mana ilusi kognitif ini dibagi lagi menjadi ilusi ambigu, ilusi distorsi, dan ilusi paradoks. Ilusi ambigu seperti yang sudah kita amati pada gambar di atas yang mana gambar atau obyek (yang sama) bisa diinterpretasikan secara berbeda; ilusi distorsi dimana terdapat distorsi ukuran, panjang, atau sifat kurva (melengkung atau lurus); dan ilusi paradoks yang disebabkan oleh obyek (atau gambar) yang paradoksikal atau tidak mungkin eksis.
Berikut adalah beberapa contoh lain dari ilusi optik:
![]() |
Ilusi dinding cafe oleh Fibonacci via wikipedia.org |
![]() |
Segitiga Penrose oleh Bromskloss via wikipedia.org |
![]() |
Jaring Hermann oleh To campos1 via wikipedia.org |
Meskipun secara umum ilusi optik (dan juga berbagai ilusi lain) yang (dapat) kita alami ini tidak membahayakan, ada satu lagi jenis ilusi yang luput dari perhatian para ahli yang (ironisnya) justru berpotensi mengancam keselamatan diri kita. Uniknya, ilusi ini tidak dialami oleh salah satu (atau lebih) panca indera kita, tetapi terjadi pada indera kita yang lebih "dalam," yakni perasaan kita.
Saya menyebutnya sebagai "ilusi beladiri."
Ilusi beladiri ini saya definisikan sebagai perasaan tangguh, hebat, kuat, mampu, dan tatag (berani, tabah) untuk menghadapi segala bentuk ancaman di luar sana setelah berhasil mengatasi berbagai "ancaman" di tempat latihan [hayo, siapa yang pernah (atau bahkan sedang) mengalami ilusi ini?;D]. Ilusi macam ini umumnya terjadi karena adanya perbedaan realita antara dunia luar dan dunia pura-pura... eh maksud saya tempat latihan.
Ya, tepat sekali, meskipun di tempat latihan kita memang dikenalkan pada berbagai jenis ancaman (baca: serangan) dan juga cara-cara untuk mengatasinya, "ancaman (-ancaman)" itu tentunya sangat jauh berbeda dengan ancaman yang sesungguhnya di luar sana. Walaupun mungkin akurasinya tetap dipertahankan, tenaga serta kecepatan serangan yang sudah dikurangi-lah yang menciptakan perbedaan (besar) itu.
Ketika seorang pelatih mengajarkan sebuah teknik beladiri (atau saat berlatih bersama dengan rekan latihan), "serangan" yang mereka lakukan tentunya sudah mengalami modifikasi semacam itu (mempertahankan akurasi namun mengurangi kecepatan serta tenaganya). Tujuannya mulia: demi lebih mempermudah kita para muridnya untuk mempelajari teknik beladiri guna merespon serangan tersebut (dan lagi pula siapa sih yang sungguh-sungguh ingin mencelakai murid ataupun rekan berlatihnya?). Alhasil, kita pun--meski harus mengulang latihan yang sama puluhan bahkan mungkin ratusan kali--mampu mempelajari (dengan baik) serta ngeh dengan teknik tersebut; dan dengan begitu tujuan pelatih pun tercapailah sudah.
Sayangnya, karena sudah berhasil mengatasi (suatu) "serangan" di tempat latihan, otak kita menginterpretasikan informasi itu sebagai "dengan tenaga dan/ atau kecepatan segitu aku sudah mampu kok merespon (baca: mem-beladiri) dengan baik," akibatnya timbullah "ilusi" di hati (dan pikiran) kita: jika seandainya mendapatkan serangan yang sama di luar sana maka kita pun akan dapat dengan mudah mengatasinya.
Namun kenyataannya persepsi kita ini telah mengalami distorsi; kendati kita berhasil merespon suatu "serangan" di tempat latihan dengan (sangat) baik--oleh karena tenaga dan kecepatan "serangan" itu sudah dikurangi--, kecepatan serta tenaga dari respon kita tersebut pada hakikatnya lebih lambat dan lebih lemah dari yang seharusnya kita butuhkan. Dan jika ilusi itu dibenturkan dengan kenyataan bahwa serangan yang sesungguhnya di luar sana jauh lebih kuat, lebih cepat, dan lebih brutal (belum lagi ditambah dengan adanya tekanan mental dan fisik), "kehebatan" kita di tempat latihan pun hanya akan menjadi khayalan serta angan-angan belaka.
Inilah yang berbahaya.
Lantas apa solusi untuk mematahkan genjut... eh ilusi ini? Berlatihlah bukan hanya untuk mengatasi serangan melainkan berlatihlah untuk mencegah terjadinya serangan itu sendiri; sebab itulah (menurut saya) yang sebetulnya menjadi intisari budo/ seni beladiri.
0 komentar:
Post a Comment