Pariwara

Followers

Sudah Vaksin Belum? Yuk Berlatih Beladiri

Posted by Yonatan Adi on 11:03 PM

Siang itu, saat sedang menunggu diluar gerbang sekolah (karena pengantar/penjemput hanya boleh sampai di luar gerbang saja) untuk menjemput putri saya pulang, saya melihat sebuah mobil ambulan nyelonong masuk ke lapangan parkir sekolah. Rupanya ambulan tersebut bukan kesasar melainkan sedang mengantar beberapa tenaga medis dari puskesmas setempat yang hendak melakukan vaksinasi (vaksinasi apa saya kurang tahu). Tak lama berselang terdengarlah di telinga ninja saya obrolan dari beberapa orang tua yang juga sedang menunggui putri/putranya pulang. Nah, disitulah ada ucapan dari salah seorang oknum orang tua yang menarik perhatian saya, kurang lebih seperti ini: "Vaksin itu sebenarnya berbahaya lho, kan dia memasukkan (agen penyebab) penyakit dengan dosis rendah ke dalam tubuh, kalau si penerima vaksin gak kuat bisa bablas tuh orang, kayak waktu covid kemaren."
 
Photo credit: Maksim Goncharenok | via pexels.com
Mendengar itu, niat hati sih ingin mengkoreksi tapi apa daya kenal aja kagak, akhirnya ya cuma bisa menuangkan isi hati (dan pikiran) dalam postingan kali ini ;D.

Ya, benar, vaksinasi tidak dilakukan dengan cara memasukkan agen pembawa penyakit (bakteri, virus, iri hati, dengki, cinta tak terbalas) dengan dosis rendah, melainkan--mengutip dari senpai Wick E. Pedia--memasukkan mikroorganisme (penyebab penyakit) dalam keadaan lemah, hidup atau mati; atau memasukkan protein atau toksin dari organisme ke dalam tubuh seseorang. Namun jangan salah, meskipun sudah dilemahkan (bahkan dimatikan) atau hanya diambil protein, toksin, ataupun DNA-nya saja dan sudah tidak mampu lagi menyebabkan sakit, si patogen (= penyebab sakit) ini masih sanggup mengaktifkan sistem pertahanan tubuh, bahkan saking dalamnya "kenangan indah" yang ditimbulkan oleh si mantan patogen sampai-sampai membuat tubuh menyimpan perasaan ingatan terhadap patogen tersebut.

Dan memang, tujuan dari vaksinasi adalah mengenalkan tubuh pada patogen dan (harapannya) merangsang tubuh untuk memproduksi antibodi spesifik guna melawan patogen tersebut dengan maksud apabila di kemudian hari doski terpapar oleh patogen yang sama, tubuh akan lebih cepat bereaksi (sebab sudah kenal dan bahkan memiliki "kenangan indah" bersama) dan--karena sudah memiliki antibodi--siap untuk melawan (atau dalam konteks blog ini mem-beladiri ;D) sehingga tidak menjadi sakit atau kalaupun menjadi sakit penyakitnya itu tidak menjadi parah.

Menilik kembali ucapan si oknum ortu diatas, kalau seandainya dosis (baca: jumlah) patogen yang dimasukkan sedikit tetapi patogenisitas (= kemampuan menyebabkan sakit)-nya tidak diturunkan (dengan cara dilemahkan atau dimatikan) maka tentunya kemungkinan patogen tersebut untuk menimbulkan penyakit pada host-nya masih tetap ada, secara karena si patogen masih "sehat", doski pun masih bisa memperbanyak diri dan/ atau memproduksi toksin di dalam tubuh si host untuk kemudian menimbulkan kerusakan pada host-nya itu (meski si host juga tetap akan membentuk antibodi sebagai antisipasi terhadap paparan yang sama berikutnya).

Kembali ke lapto... eh niche blog ini, prinsip yang hampir sama dengan proses vaksinasi ini bisa kita temukan juga dalam latihan seni beladiri. Seni beladiri, atau dalam hal ini proses latihan seni beladiri, bertujuan untuk mengenalkan partisipannya pada patogen (baca: ancaman; serangan) yang bisa berupa pukulan, tendangan, cengkeraman ataupun bentuk ancaman/ serangan lainnya dan harapannya merangsang timbulnya antibodi (baca: kemampuan/skill dan mental) untuk mengatasi ancaman-ancaman tersebut.

Tidak berbeda pula dengan vaksinasi, "patogen" yang "dimasukkan" pun sudah dilemahkan sehingga tidak sampai menyebabkan "sakit" (Hei, siapa sih yang sungguh-sungguh ingin mencelakai murid ataupun rekan berlatihnya?). Akan tetapi--seperti halnya dengan vaksin--meski sudah dilemahkan (baca: dikurangi tenaga dan kecepatannya) dan hanya diambil akurasinya saja, si "patogen" ini masih sanggup membuat tubuh mengaktifkan sistem pertahanannya (baca: refleks serta keterampilan untuk berkelit, menangkis, dan/ atau melakukan serangan balik). Dan apabila suatu saat si penerima "vaksin" terpapar oleh ancaman yang sama--karena sudah "akrab" dan sudah memiliki "antibodi"--doski pun akan siap merespon ancaman tersebut dengan lebih cepat, tepat, dan efisien.

Sebelum saya tutup, mari kita tinjau kembali paragraf kelima dari postingan ini, kalau misalkan hanya dosis (baca: repetisi; jumlah) ancamannya saja yang dikurangi namun tidak dengan kekuatan, kecepatan, serta akurasinya, kalau sedang apes bisa saja kan ada satu pukulan (atau tendangan) yang mendarat di sasarannya dan--karena dilakukan dengan sungguh-sungguh--menyebabkan sakit, cedera, atau bahkan lebih parah? Kalau sudah begitu buat apa kita berlatih beladiri (budo) kalau belum sampai mengamalkannya sudah "koit" duluan?

Itulah kenapa (saat berlatih bersama rekan latihan) "patogenisitas" serangan harus diturunkan (agar tidak atau sedikiiit saja menimbulkan rasa sakit) dan "dosis"-nya yang justru harus diberikan dalam jumlah banyak serta dilakukan secara berulang-ulang (kalau dianalogikan dengan vaksinasi: harus ada booster-nya) supaya, kata orang Jawa,: "witing bisa jalaran saka kulina" (terj: bisa karena terbiasa).

Ternyata seni beladiri dan kehidupan sehari-hari banyak kemiripannya ya, lain kali tak miripkan dengan apa lagi ya? Ada ide?


Nama Anda
New Johny WussUpdated: 11:03 PM

0 komentar:

Post a Comment

Copyscape

Protected by Copyscape
Powered by Blogger.

Paling Dilihat

CB