Pikiran yang terbuka serta kesabaran tingkat dewa, itulah dua syarat yang harus kita miliki untuk bisa memahami bagaimana dan kenapa seorang seniman berpikir dan bertindak.
Tanpa kedua syarat itu, kita tidak akan mungkin paham kenapa Vincent van Gogh dengan keinginannya sendiri memotong daun telinganya, atau adakah pembaca blog ini yang paham dengan penampilan dan gaya busana Lady Gaga?
Sudah menjadi rahasia umum kalau seorang seniman--entah itu pelukis, penyair, ataupun penyanyi--hampir selalu berpenampilan nyentrik. Ada yang nyentriknya masih dalam batas wajar (rambut panjang gimbal, bertato seluruh tubuh, atau bertelanjang dada saat melukis), tetapi ada juga yang taraf nyentriknya sampai membahayakan dirinya sendiri (seperti van Gogh di atas) bahkan orang lain.
Tanpa kedua syarat itu, kita tidak akan mungkin paham kenapa Vincent van Gogh dengan keinginannya sendiri memotong daun telinganya, atau adakah pembaca blog ini yang paham dengan penampilan dan gaya busana Lady Gaga?
Sudah menjadi rahasia umum kalau seorang seniman--entah itu pelukis, penyair, ataupun penyanyi--hampir selalu berpenampilan nyentrik. Ada yang nyentriknya masih dalam batas wajar (rambut panjang gimbal, bertato seluruh tubuh, atau bertelanjang dada saat melukis), tetapi ada juga yang taraf nyentriknya sampai membahayakan dirinya sendiri (seperti van Gogh di atas) bahkan orang lain.
Pertanyaannya sekarang adalah: "Apakah ada alasan tertentu yang membuat mereka berpenampilan (dan bertingkah laku) 'aneh'?" atau "Adakah hubungan antara jiwa seni dengan anggapan umum yang menyebut mereka rada gendheng alias agak sinting?"
"Mental illness is neither necessary nor sufficient for creativity", itulah pernyataan Scott Barry Kaufman, seorang psikolog, dalam artikel yang diterbitkan di Scientific American. Gangguan jiwa tidak dibutuhkan sekaligus tidaklah cukup untuk menjadi kreatif. Di dalam artikelnya, Kaufman mengutip beberapa studi yang meneliti hubungan antara gangguan jiwa dengan bakat artistik dan menyatakan bahwa gangguan jiwa dan kreativitas memiliki hubungan yang 'khusus'.
Tetapi bukan berarti seniman itu gila lho ya, sama sekali bukan. Berdasarkan penelitian, seniman memang adalah orang-orang yang seringkali 'dianggap' gila oleh orang-orang di sekitarnya namun tidak (sekali lagi TIDAK) benar-benar gila.
Haruki Murakami, seorang penulis novel asal Jepang, pernah bercerita: "Saat saya berada dalam 'mode menulis' untuk sebuah novel, saya bangun jam 4 pagi dan bekerja selama 5-6 jam. Siang harinya, saya joging sejauh 10km atau berenang sejauh 1500m (atau keduanya), kemudian saya akan meluangkan waktu untuk membaca buku dan atau mendengarkan musik. Saya kemudian pergi tidur jam 9 malam. Saya rutin melakukan hal yang sama seperti ini setiap hari. Pengulangan ini menjadi sesuatu yang penting; seolah-olah menjadi suatu bentuk hipnotis. Saya menghipnotis diri saya sendiri untuk mencapai tahap pikiran kreatif yang paling dalam."
Menurut Murakami, tingkah laku (dan penampilan) yang 'tidak biasa' menjadi semacam hipnotis bagi seorang seniman untuk menjadi kreatif dalam berkarya. Dan ternyata pernyataan Murakami ini klop dengan ilmu per-hipnotis-an.
Dalam teori hipnotis, secara garis besar ada 3 macam pencetus terjadinya efek hipnosis:
Ada alasannya kenapa seni beladiri disebut sebagai suatu bentuk 'seni', tahu kenapa? Karena untuk bisa berkembang dalam suatu seni beladiri, kita harus menjadi orang yang kreatif. Tetapi, seorang praktisi beladiri (atau tepatnya seniman beladiri), tidak bisa serta merta menjadi kreatif. Ada urut-urutan yang harus dilalui. Kalau Anda masih ingat dengan postingan saya tentang filosofi beladiri dalam seni kaligrafi, untuk bisa menjadi seorang seniman dalam seni beladiri, kita harus melalui tahapan-tahapan shu, ha, dan kemudian ri. Kita tidak boleh (dan tidak mungkin) langsung mencapai tahap 'ri', kita harus melalui tahap 'shu' dan 'ha' terlebih dulu.
Tanpa kita sadari, tiga pencetus terjadinya efek hipnosis--yang dihubung-hubungkan dengan kreativitas seorang seniman--yang sudah saya sebut diatas pun selalu kita lakukan setiap kali berlatih.
"Mental illness is neither necessary nor sufficient for creativity", itulah pernyataan Scott Barry Kaufman, seorang psikolog, dalam artikel yang diterbitkan di Scientific American. Gangguan jiwa tidak dibutuhkan sekaligus tidaklah cukup untuk menjadi kreatif. Di dalam artikelnya, Kaufman mengutip beberapa studi yang meneliti hubungan antara gangguan jiwa dengan bakat artistik dan menyatakan bahwa gangguan jiwa dan kreativitas memiliki hubungan yang 'khusus'.
Tetapi bukan berarti seniman itu gila lho ya, sama sekali bukan. Berdasarkan penelitian, seniman memang adalah orang-orang yang seringkali 'dianggap' gila oleh orang-orang di sekitarnya namun tidak (sekali lagi TIDAK) benar-benar gila.
Haruki Murakami, seorang penulis novel asal Jepang, pernah bercerita: "Saat saya berada dalam 'mode menulis' untuk sebuah novel, saya bangun jam 4 pagi dan bekerja selama 5-6 jam. Siang harinya, saya joging sejauh 10km atau berenang sejauh 1500m (atau keduanya), kemudian saya akan meluangkan waktu untuk membaca buku dan atau mendengarkan musik. Saya kemudian pergi tidur jam 9 malam. Saya rutin melakukan hal yang sama seperti ini setiap hari. Pengulangan ini menjadi sesuatu yang penting; seolah-olah menjadi suatu bentuk hipnotis. Saya menghipnotis diri saya sendiri untuk mencapai tahap pikiran kreatif yang paling dalam."
Menurut Murakami, tingkah laku (dan penampilan) yang 'tidak biasa' menjadi semacam hipnotis bagi seorang seniman untuk menjadi kreatif dalam berkarya. Dan ternyata pernyataan Murakami ini klop dengan ilmu per-hipnotis-an.
Dalam teori hipnotis, secara garis besar ada 3 macam pencetus terjadinya efek hipnosis:
- Keunikan--haruslah sesuatu (atau gabungan dari beberapa) hal yang tidak bisa kita hubungkan dengan aktivitas yang lain.
- Intensitas emosional--suatu pengalaman yang kita alami saat pikiran dan perasaan kita sedang benar-benar terlarut dalam suatu aktivitas.
- Repetisi/ pengulangan--semakin sering kita mengalami suatu hal yang berhubungan dengan suatu emosi tertentu, hubungan tersebut akan semakin kuat.
Ada alasannya kenapa seni beladiri disebut sebagai suatu bentuk 'seni', tahu kenapa? Karena untuk bisa berkembang dalam suatu seni beladiri, kita harus menjadi orang yang kreatif. Tetapi, seorang praktisi beladiri (atau tepatnya seniman beladiri), tidak bisa serta merta menjadi kreatif. Ada urut-urutan yang harus dilalui. Kalau Anda masih ingat dengan postingan saya tentang filosofi beladiri dalam seni kaligrafi, untuk bisa menjadi seorang seniman dalam seni beladiri, kita harus melalui tahapan-tahapan shu, ha, dan kemudian ri. Kita tidak boleh (dan tidak mungkin) langsung mencapai tahap 'ri', kita harus melalui tahap 'shu' dan 'ha' terlebih dulu.
Tanpa kita sadari, tiga pencetus terjadinya efek hipnosis--yang dihubung-hubungkan dengan kreativitas seorang seniman--yang sudah saya sebut diatas pun selalu kita lakukan setiap kali berlatih.
- Keunikan: kita datang sebelum latihan dimulai, melakukan gassho/ rei sebelum masuk ke dalam dojo, memakai dogi (baju latihan) beserta obi (sabuk)-nya, mengucapkan janji dan ikrar (atau sumpah perguruan), melakukan sazen (meditasi/ semedi), melakukan pemanasan dan kihon.
- Intensitas emosional: rasa capek dan sakit (sekaligus 'senang') saat berlatih (karena terkena pukulan, terbanting, atau dikunci); bersemangat (sekaligus takut) saat disuruh melakukan sparing, belum lagi hadiah makian dan bentakan dari sensei/senpai/pelatih; dan yang tidak boleh dilupakan adalah rasa bangga dan pede yang kita rasakan setelah berhasil melalui sesi latihan hari itu (jangan bilang cuman saya saja yang merasakannya).
- Repetisi: kedua hal di atas yang terpaksa harus selalu kita ulang dan ulang (dan ulang) terus tanpa rasa bosan (oke mungkin 'sedikit' rasa bosan... iya deh sangat membosankan :D), dipadukan dengan sedikit rasa takut bercampur senang dan bangga.
Kita, sebagai seniman beladiri, biasanya juga berperilaku 'nyeleneh' dan berbeda dari orang kebanyakan. Kalau orang lain dengan santainya melanggar isyarat lampu lalu lintas, kita mematuhinya; kalau orang lain membuang sampah disembarang tempat, kita selalu membuang sampah di tempat sampah; kalau orang lain tetap memakai alas kaki di tempat yang bertuliskan 'alas kaki harap dilepas', kita melepas alas kaki kita, dan masih banyak lagi contoh yang lain. Selalu berpenampilan rapi dan necis juga menjadi salah satu pembeda antara seorang seniman beladiri dengan orang awam.
Intinya adalah, kalau kita tidak nyentrik maka "apakah kita sudah benar-benar mempelajari seni beladiri ataukah baru mempelajari cara-cara untuk berkelahi/ bertanding saja" akan menjadi suatu tanda tanya besar. Kalau kita, sebagai praktisi beladiri, masih berperilaku dan berpenampilan biasa-biasa saja alias tidak berbeda dengan orang kebanyakan, maka status seniman kita juga patut dipertanyakan.
Bagaimana dengan Anda?
Intinya adalah, kalau kita tidak nyentrik maka "apakah kita sudah benar-benar mempelajari seni beladiri ataukah baru mempelajari cara-cara untuk berkelahi/ bertanding saja" akan menjadi suatu tanda tanya besar. Kalau kita, sebagai praktisi beladiri, masih berperilaku dan berpenampilan biasa-biasa saja alias tidak berbeda dengan orang kebanyakan, maka status seniman kita juga patut dipertanyakan.
Bagaimana dengan Anda?
0 komentar:
Post a Comment