Pariwara

Followers

Bahaya Meniru Tanpa Memahami

Posted by Yonatan Adi on 2:20 PM

Jam 6.30 sore.

Pada jam segitu, biasanya sih anak-anak sekolah sudah selesai belajar dan atau mengerjakan tugas-tugas sekolah (PR kalau di jaman saya)-nya dan tinggal menunggu waktu untuk makan malam dan tidur.

Nah, sambil menunggu, sudah sangat biasa bagi mereka untuk menghidupkan dan menonton acara televisi. Dan tebak acara apa yang sedang ditayangkan saat itu? Sinetron.

Ya benar, menonton sinetron di sore hari menjelang malam sudah menjadi hal yang lumrah, bahkan bagi anak-anak usia sekolah.

Padahal, menurut pendapat saya, sinetron alias sinema elektronik (bener gak ya??) ini adalah tontonan sehari-hari yang "berbahaya".

Kenapa saya sebut berbahaya? Tontonan yang biasa tayang pada jam-jam prime time (pukul 19.00 - 23.00) ini memang tidak berbahaya bagi pemirsa dewasa yang sudah bisa memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk (ya ngga sih?), tetapi bagaimana dengan pemirsa yang masih anak-anak?

Dengan jam tayang seperti itu, tontonan yang biasanya bertema rebutan cinta, rebutan harta, masalah rumah tangga, hantu/ setan, dan tema-tema dewasa lainnya ini menjadi mudah sekali diakses oleh anak-anak. Hal ini diperparah dengan sikap orang tua yang "emang gue pikirin, yang penting anak-anak saya betah di rumah" (baca: yang penting anak-anak tidak mengganggu aktivitas saya di dunia maya ;p).

Orang tua seolah "membiarkan" anak-anaknya menonton tontonan yang tidak sesuai dengan usianya tanpa ada pengawasan. Padahal tayangan televisi--tidak hanya sinetron, tetapi juga film kartun, berita, dan reality show--memiliki rating-nya sendiri-sendiri. Bukan "rating" banyaknya pemirsa yang menonton lho ya, yang saya maksud rating disini adalah rentang usia berapa saja yang boleh menonton tayangan tersebut. Dan seperti halnya di dunia game (baca postingan saya tentang sistem rating video game), sistem rating ini juga jarang sekali diperhatikan oleh orang tua (boro-boro memperhatikan, tau aja kagak).

Salah satu judul sinetron (wtf?!) credit: commons wikimedia
Akibatnya, anak-anak bebas menonton suatu tayangan yang sebenarnya "belum waktunya" bagi mereka, mereka bebas menonton tayangan yang sebenarnya tidak/ belum mereka pahami. Kondisi seperti inilah yang banyak memunculkan anak-anak seperti Zihan yang pernah viral di media sosial dengan istilah "kemusuhan"-nya.

Dengan fasih Zihan, yang menurut indera penciuman saya masih berusia 3 - 4 tahun ini, menirukan percakapan dalam sebuah (atau banyak buah?) sinetron yang mungkin ditontonnya tanpa sedikitpun memahami arti dari apa yang diucapkannya itu. Inilah yang--meskipun lucu--berbahaya menurut saya.

Yonatan-san, sekarang Anda pura-pura jadi pengamat dunia pertelevisian?

Bukan, ocehan saya di atas hanyalah intro untuk postingan saya hari ini.


__________

Apa jawaban Anda seandainya Anda (anggap Anda belum ngeh sama sekali dengan dunia seni beladiri) ditanyai: "Apa yang Anda lakukan saat berlatih beladiri?"

"Menirukan gerakan yang diajarkan oleh pelatih/ sensei Anda", itukah jawaban Anda? (setidaknya itulah jawaban terbanyak dari hasil survei saya bersama cak L*nt*ng ;D).

Jadi menirukan itu salah?

Saya tidak bilang kalau menirukan itu salah, tidak sama sekali. Salah satu tahap latihan seni beladiri (shu - ha - ri), yaitu shu, memang menyebutkan bahwa tahap awal dari latihan beladiri adalah menirukan gerakan pelatih, semakin mirip semakin bagus. Sayangnya, banyak pelaku beladiri yang berhenti hanya di tahap ini. Tingkatan mereka memang semakin tinggi, tetapi tahap latihan mereka terhenti sampai tahap shu ini saja.

Banyak pelaku beladiri yang hanya menirukan (tidak hanya gerakan saja tapi juga metode melatih) pelatihnya tanpa mau memahami lebih jauh makna dari gerakan-gerakan tersebut (padahal, setiap pelaku beladiri seharusnya melewati tahapan "mengikuti - mengubah - membuat baru" ini). Akibatnya, saat mereka mendapat pertanyaan "kenapa?" dari murid-muridnya, keluarlah jawaban klasik "pokoknya harus begitu".

Dengan meniru, kita memang bisa "menguasai" seni beladiri yang kita pelajari. Tetapi tingkat penguasaan kita akan lebih baik lagi kalau kita mau memahami makna dan tujuan dari setiap gerakan beladiri yang kita pelajari. Dan tidak hanya waza saja lho ya, gerakan-gerakan yang sering disepelekan seperti tai sabaki (olah tubuh), menyimpan arti yang terkadang lebih dalam dari yang sekedar kita lihat (tai sabaki pada dasarnya adalah gerakan olah tubuh untuk berkelit dari serangan lawan, tetapi ternyata tai sabaki juga bisa digunakan untuk menyerang).

Dengan meniru, kita mungkin bisa menjadi "hebat", tapi bagaimana kalau kita harus menurunkan (baca: melatih) seni beladiri tersebut kepada adik-adik kita? Tanpa pemahaman, ilmu yang kita turunkan semakin lama akan semakin kehilangan inti sarinya (walah bahasanya ;p) dan kalau dibiarkan terus, ilmu tersebut lama-kelamaan akan punah.

Inilah yang berbahaya.

Setuju dengan saya? 


Nama Anda
New Johny WussUpdated: 2:20 PM

0 komentar:

Post a Comment

Copyscape

Protected by Copyscape

Blog Archive

Powered by Blogger.

Paling Dilihat

CB