Pariwara

Followers

Kenapa Teknik Beladiri yang Sama Bisa Terlihat Berbeda

Posted by Yonatan Adi on 2:24 PM

Suatu ketika, salah seorang kohai saya mengajukan pertanyaan yang cukup bikin pusying kepala, begini pertanyaannya: "Kenapa waza 'A' yang diajarkan oleh senpai 'B' berbeda dengan yang diajarkan oleh senpai?"

Nah, postingan kali ini saya tulis khusus untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Tetapi sebelumnya, intro dulu... 😁
 

Saya kira tidak ada seorangpun dari kita yang tidak pernah berkendara di jalan raya (bukan begitu?).

Namun bagi yang benar-benar belum pernah (ada gak sih?), saya akan memberitahu bahwa di permukaan jalan, membagi lebar jalan menjadi dua bagian yang sama, terdapat sebuah garis/ tanda yang disebut dengan marka jalan.

Tetapi yang jarang diketahui (dan mungkin juga tidak diperhatikan), garis pembatas antara lajur kanan dan lajur kiri ini ada dua macam lho. Yang satu berupa garis putus-putus sedangkan yang satunya lagi berupa satu garis utuh (tidak terputus-putus).

Contoh marka jalan berupa garis utuh (sumber: pxhere.com)
Secara prinsip kedua garis ini fungsinya sama yaitu memberi batas antara lajur kiri dengan lajur kanan. Tetapi tentu saja ada bedanya. Yang pertama adalah dari bentuknya (tentu saja) dan yang kedua adalah boleh atau tidaknya dua garis tersebut dilewati.

Garis putus-putus menandakan bahwa marka tersebut boleh dilewati (kendaraan yang berada di lajur kiri boleh masuk ke lajur kanan dan sebaliknya) misalnya saat mendahului atau menyalip. Sedangkan yang berupa garis utuh menandakan bahwa marka tersebut tidak boleh dilewati (kendaraan yang berada di lajur kiri tidak boleh masuk ke lajur kanan dan sebaliknya), marka jenis ini biasanya kita temukan di jalur cepat, jalan bebas hambatan, persimpangan, tikungan, atau di dekat lampu lalu lintas.

Nah, seperti halnya dua macam marka jalan yang saya sebutkan di atas, di dalam seni beladiri juga terdapat dua "marka" yang serupa tapi tak sama.

"Prinsip" dan "bentuk", itulah dua marka di dalam seni beladiri yang terlihat serupa tapi sebenarnya sangat jauh berbeda.

Dimana "prinsip" dan "bentuk" ini bisa kita temukan?

Di semua aliran seni beladiri tentunya ada banyak sekali gerakan dan juga teknik-teknik beladiri. Di setiap gerakan dan teknik-teknik beladiri inilah kita akan menemukan dua "aturan" yang sekilas terlihat mirip tersebut.

Terus dimana perbedaannya?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya akan sedikit menjelaskan tentang tahap-tahap dalam latihan seni beladiri.

Saat pertama kali berlatih, kita akan diajari berbagai macam bentuk gerakan seperti macam-macam kamae (kuda-kuda), berbagai macam teknik pukulan, tendangan, dan tangkisan, macam-macam ukemi (teknik jatuhan), dan masih banyak lagi yang lain.

Untuk murid beladiri yang masih benar-benar baru, pelatih biasanya memberi instruksi untuk menirukan gerakan yang diperagakan, semakin mirip semakin baik. Setelah dirasa cukup mahir, pelatih akan mulai mengajarkan makna dan prinsip di balik gerakan-gerakan tersebut.

Seiring dengan semakin tingginya tingkatan dan (harapannya) pemahaman si murid, pelatih akan "membiarkan" si murid untuk sedikit mengubah bentuk dari gerakan-gerakan tersebut. Membiarkan disini bukan berarti melepas sama sekali lho ya, pelatih tetap memberikan bimbingan dan koreksi kalau perubahan tersebut dirasa melenceng terlalu jauh.

Setelah tingkatan si murid sudah cukup tinggi dan dianggap telah menguasai dan memahami bentuk serta prinsip dari gerakan-gerakan beladiri tersebut, barulah pelatih benar-benar melepas si murid untuk "menciptakan sendiri" gerakan-gerakan baru yang tentu saja masih tetap pada pakem-nya.

"Bentuk" gerakan boleh berubah, tetapi "prinsip" dari gerakan tersebut harus tetap sama. Yang satu boleh dilanggar, yang lain harus selalu ditaati. Tahap-tahap latihan inilah yang dikenal sebagai kaisho - gyosho - sosho shu - ha - ri.

Saya beri contoh salah satu waza di Shorinji kempo yang disebut "uchi uke zuki". Prinsip dari waza ini adalah menangkis pukulan lurus kearah kepala (gyaku jodan) dengan jun uchi uke (tangkisan dalam) untuk kemudian membalas dengan pukulan lurus ke arah tengah (gyaku chudan) dengan sasaran sanmae atau yoko sanmae.

Sampai tingkatan berapapun, prinsip dari waza ini tidak akan pernah berubah. Yang berubah adalah bentuknya; antara pelatih yang satu dengan pelatih yang lain pasti tidak akan sama (meskipun perbedaannya juga tidak terlalu signifikan).

Sebagai contoh, ada pelatih yang mengaplikasikan waza ini dengan melangkahkan kaki depannya (fumi komi ashi), tetapi ada juga pelatih yang hanya memindahkan berat badannya ke kaki depan (zen kutsu dachi) saja. Secara prinsip (lagi-lagi), dua gerakan ini (fumi komi ashi dan zen kutsu dachi) sama-sama memindahkan kepala keluar dari jalur serangan tetapi secara bentuk berbeda jauh.

Kalau secara prinsip sama, kenapa tidak diseragamkan saja?

Perbedaan tersebut terjadi karena [1] Perbedaan persepsi/ pemahaman (kendati dua-duanya tidak salah) dan [2] perbedaan postur tubuh. Perbedaan persepsi mungkin bisa diubah, tapi perbedaan postur tubuh tidak akan bisa diubah.

Kalau begitu seni beladiri tersebut jadi berbeda dong dengan yang "asli"?

Ingat bahwa secara prinsip tidak ada yang berubah, hanya bentuknya saja yang berubah, jadi seni beladiri tersebut secara... *ehem* prinsip tetaplah sama. Justru karena adanya (sedikit) perbedaan bentuk inilah seni beladiri menjadi sesuatu yang menarik dan tidak membosankan. Dan karena perbedaan ini pulalah seni beladiri disebut sebagai... seni beladiri.

Dengan begini jelaslah sudah kenapa waza yang saya ajarkan bisa "berbeda" dengan waza (yang sama) yang diajarkan oleh orang lain.

Repot memang punya kohai yang kepo-an 😓 (bercanda).


Nama Anda
New Johny WussUpdated: 2:24 PM

0 komentar:

Post a Comment

Copyscape

Protected by Copyscape

Blog Archive

Powered by Blogger.

Paling Dilihat

CB