Di pagi hari, hal yang biasa saya lakukan pertama kali saat bangun tidur adalah membuka mata (ya iyalah ;D) lalu lekas-lekas mengecek ponsel milik istri saya karena meng-kepo-in pesan (-pesan) baru di aplikasi WhatsApp yang terpasang di hape tersebut untuk kemudian membacanya (hei, bukannya kita semua begitu?).
Nah, pagi ini saya menemukan pesan yang cukup menarik di salah satu grup dimana saya tergabung. Kurang lebih isinya seperti ini: "Sudah berapa kali Anda push-up, sit-up, geri dan chuki pagi ini?."
Sekilas tidak ada yang janggal dengan isi dari pesan tersebut. Namun, kalau kita mau teliti (dan sudah pernah membaca postingan saya yang ini), kita pasti akan tersenyum (atau bahkan tertawa). Pertama, jelas sekali kalau si penulis pesan berniat untuk pamer (yang tidak saya permasalahkan sama sekali karena siapa sih yang ngga suka pamer ;p) tetapi tidak ada yang menanggapi; kedua karena isinya memang bikin ketawa.
Sebelum membahas lebih lanjut, saya ingin menegaskan bahwa tidak ada niat sama sekali untuk mengejek, menghina, apalagi menggurui, saya hanya ingin mengajak para pembaca blog ini khususnya untuk lebih peduli lagi dengan seni beladiri yang dipelajarinya.
Bagi yang belum tahu, saat ini saya sedang mendalami salah satu aliran seni beladiri asal Jepang. Nah, grup yang saya maksudkan ini berisi beberapa anggota dari seni beladiri tersebut. Karena seni beladiri kami berasal dari Jepang, kami pun seringkali sok-sokan menggunakan kosakata Jepang dalam percakapan kami. Kenapa saya bilang sok-sokan ... *ehem* begitu? Karena belum tentu kosakata yang kami gunakan itu benar. Contohnya pesan di atas, disitu ada dua satu kata yang menggunakan kosakata Jepang yaitu "geri" (kalau "chuki" saya ndak tahu berasal dari mana).
Sebetulnya saya haqqul yakin kalau semua anggota grup mengerti benar dengan apa yang dimaksud oleh si penulis pesan (dan justru itulah yang bikin tambah miris).
Seandainya diterjemahkan ke dalam bahasa kita, maksud dari isi pesan itu adalah: "sudah berapa kali Anda push-up, sit-up, (berlatih teknik) menendang dan memukul pagi ini?." Namun dasar--kata orang jawa--njepangi, si penulis berusaha membuat pesannya supaya terdengar (atau terbaca?) lebih "Jepang" dengan mengganti dua satu kata dengan kosakata Jepang: "menendang" menjadi "geri" dan "memukul" menjadi "chuki".
Inilah yang membuat saya tertawa geli.
Saya tidak akan membahas kata "chuki" yang sama sekali bukan bahasa Jepang (bahasa Jepang dari "memukul/ pukulan" adalah "tsuki" betewe), saya hanya akan sedikit membahas kata "geri". Saya tegaskan pula bahwa saya bukan seorang yang lancar berbahasa Jepang (saya hanya tahu dua kata saja yaitu "iku" dan "kimochi" ;D), akan tetapi karena saking seringnya kata ini disalahgunakan saya pun sedikit banyak jadi tahu.
Seperti yang kita semua tahu, bahasa Jepang adalah bahasa yang sedikit 'aneh', salah satu keanehan bahasa Jepang adalah kata-kata yang dibaca berbeda tergantung pada letak atau posisinya (di depan atau di belakang kata lain; berdiri sendiri atau menyertai/ disertai kata lain). Kata "menendang/ tendangan" misalnya, ditulis (dan dibaca) "keri" kalau letaknya di depan kata lain (atau kalau berdiri sendiri) contohnya "keri age"; tetapi apabila letaknya di belakang kata lain akan berubah menjadi "geri" (sebagai contoh "mae geri").
"Ah, cuma salah gitu aja masa sampai ketawa," batin salah seorang pembaca (bukan Anda).
Itulah mengapa kalau belajar beladiri kita juga perlu sedikit belajar tradisi, budaya, dan juga bahasa dari mana seni beladiri yang bersangkutan berasal, kata orang Suriname: "ben ora keblinger."
Semoga bisa jadi pembelajaran bagi kita semua. Osu
0 komentar:
Post a Comment