Pariwara

Followers

Salah Siapa dong?

Posted by Yonatan Adi on 3:07 PM

Ramayana...

Apa yang terbayang pertama kali di benak Anda saat mendengar kata ini?

Mbak-mbak SPG yang cantik dan menggoda? Bisa juga sih, tapi bukan Ramayana yang "itu" yang saya maksudkan (pikirannya itu lho... duh.). Yang saya maksud disini adalah cerita pewayangan Ramayana.

 
Tentu saja kisah Rama dan Shinta, benar?

Tetapi tahukah Anda bahwa ada kisah lain yang tidak kalah menariknya daripada cerita asmara antara pangeran Ayodya dan istrinya tersebut? Kisah yang bahkan terjadi jauh sebelum pangeran Rama (yang katanya ganteng mirip saya itu ;p) lahir.

Ya benar, cerita mengenai prabu Dasarata, sang ayahanda Rama, yang menikahi Kekayi karena dua permaisuri sebelumnya dianggap tidak mampu melahirkan anak laki-laki.

Kisah ini menarik karena di dalamnya ada sebuah miskonsepsi yang sayangnya justru banyak dipercaya bahkan sampai sekarang. Alasan raja Dasarata menikahi Kekayi adalah untuk mendapatkan penerus tahta karena dua istrinya yang sebelumnya dianggap tidak mampu melahirkan seorang putera. Perhatikan kalimat yang saya cetak tebal, kekeliruan konsep bahwa melahirkan anak perempuan (dan bukan laki-laki) adalah 'kesalahan' dari pihak istri.

Ya benar, seorang perempuan tidak mampu memilih jenis kelamin dari bayi yang dikandungnya, laki-laki-lah yang memiliki kemampuan untuk 'menentukan' jenis kelamin anaknya.

Kok bisa?

Seperti yang kita semua tahu (iya kan?), setiap organisme yang berkembangbiak secara seksual memiliki tiga... eh dua jenis kelamin yang berbeda sebagai alat reproduksinya. Perbedaan jenis kelamin ini ditentukan oleh kromosom seks yang diturunkan oleh kedua induknya. Selain memiliki 22 pasang kromosom tubuh, manusia juga memiliki kromosom seks yang jumlahnya satu pasang sehingga total jumlah kromosom manusia adalah 23 pasang. Kromosom seks sendiri ada dua jenis yaitu kromosom X dan kromosom Y. Seorang perempuan memiliki kromosom seks "XX", sementara seorang laki-laki memiliki kromosom seks "XY".

Saat berada dalam testis ataupun ovarium, sepasang kromosom seks ini akan berpisah selama proses pembelahan meiosis (tahu kan?). Masing-masing sel telur sudah pasti akan mengandung satu kromosom X, sedangkan sel sperma ada yang mengandung kromosom X dan ada pula yang mengandung kromosom Y.

Apabila sel sperma yang mengandung kromosom X membuahi sel telur, maka zigot yang terbentuk akan memiliki kromosom XX yang akan berkembang menjadi individu perempuan. Akan tetapi, jikalau sel telur dibuahi oleh sel sperma yang membawa kromosom Y, zigot akan memiliki kromosom XY yang tentu saja akan berjenis kelamin laki-laki.

Jadi jelas bahwa jenis kelamin seorang anak ditentukan oleh sel sperma sang ayah dan bukan oleh sel telur bundanya. Emang dasar laki-laki suka menyalahkan. 
 
Gambar oleh mohamed hassan | via Pixabay
*uhuk*uhuk*
...
 
Dan dengan begitu berakhirlah pelajaran biologi hari ini ;D.
 
... *ehem*...
 
Ngomongin tentang miskonsepsi, ijinkan saya bertanya satu hal pada Anda: "Seandainya Anda dipukul oleh seseorang, siapakah yang harus disalahkan?".

Dalam kehidupan, kejadian perkelahian adalah sesuatu yang tidak bisa diprediksi, sekalipun Anda selalu mempraktekkan tips-tips untuk tidak pernah kalah menghindari perkelahian, kemungkinan bagi Anda untuk terlibat dalam konflik fisik akan selalu tetap ada. Se-santun dan se-sopan apapun diri Anda, orang-orang yang suka mencari gara-gara [dan yang mungkin berniat menyakiti (atau memukul) Anda] masih akan tetap ada.

Lantas--kembali ke pertanyaan saya di atas--, siapa yang harus disalahkan seandainya kita dipukul oleh seseorang?

Memukul seseorang (dengan alasan apapun) tentu saja sangat tidak dibenarkan, akan tetapi apakah si pemukul sepenuhnya salah? Tidak juga, sebab si korban pun sebenarnya juga ikut bersalah karena telah membiarkan dirinya ter/di-pukul.
 
Tunggu dulu, tunggu dulu... kalau gitu menjadi korban itu salah?
 
Tentu saja tidak, yang salah adalah membiarkan begitu saja diri kita menjadi korban.

Anda dan saya pastinya setuju bahwa tidak ada seorang pun yang mau menjadi korban (iya kan?). Tetapi ironisnya, banyak orang yang secara tidak sadar justru menempatkan dirinya dalam posisi seorang bakal korban. Dengan tidak belajar beladiri misalnya, banyak orang telah merelakan dirinya menjadi seorang calon korban potensial.

Apa hubungannya belajar 'berkelahi' dengan tidak menjadi korban? Lagian, saya kan cinta damai, saya ogah belajar beladiri yang (katanya) ngajarin cara-cara kekerasan itu.

Pertama, tolong bedakan antara cinta damai dengan lemah. Kedua, se-"cinta damai" apapun diri kita, masih tetap akan ada orang (-orang) yang tidak suka dengan diri kita. Ketiga, belajar beladiri dan tidak menjadi korban memang tidak berhubungan (secara) langsung, tetapi dengan belajar beladiri kita akan memiliki semacam sarana yang bisa kita gunakan tidak hanya untuk membela diri (dan juga orang-orang tercinta, harta benda, ataupun pendirian) kita supaya tidak menjadi korban, tetapi juga melindungi 'lawan' kita.

Ya, tidak hanya berfaedah untuk mempertahankan diri, seni beladiri juga bisa melindungi mereka yang nekat menyerang kita.
 
Kata beladiri (tanpa spasi) adalah istilah dalam bahasa Indonesia untuk menjelaskan kata "budo" (lit. jalan/ cara hidup untuk menghentikan tombak) yang tidak hanya berarti "membela diri" saja tetapi suatu disiplin ilmu yang bertujuan untuk mencapai potensi terbesar manusia, untuk membentuk kita menjadi manusia seutuhnya, manusia yang bisa diandalkan tidak hanya oleh orang lain tetapi juga oleh diri kita sendiri [kata "manusia" (atau "hito" dalam bahasa Jepang) tersusun dari dua garis yang saling bersandar].

Dengan belajar beladiri, kita akan mampu menghentikan suatu (atau beberapa) serangan dan dengan begitu bisa mencegah terjadinya konflik lebih lanjut. Dengan belajar beladiri, kita akan mampu membuat lawan kapok untuk melakukan serangan (lagi) [ingat bahwa budo bermakna menghentikan serangan dengan begitu tujuan kita ber-budo 'hanyalah' untuk menghentikan serangan lawan dan bukan untuk menghabisinya] dan dengan begitu kita dan "lawan" kita akan memiliki kesempatan untuk bisa menyelesaikan perkara apapun yang menjadi penyebab doski menyerang diri kita dengan cara yang lebih beradab dan dengan kepala dingin.


Seperti halnya menyalahkan perempuan karena tidak mampu melahirkan anak laki-laki, (hanya) menyalahkan mereka yang memukul kita adalah sebuah konsep yang salah. Sebelum menyalahkan seseorang yang memukul kita, kita mungkin perlu mencari tahu penyebab kenapa kita sampai dipukul. Mungkin tingkah laku kita yang menyebabkannya, mungkin kita-lah yang dengan sengaja (meski tidak disadari) telah mencari 'gara-gara', atau mungkin sudah nasib kita dipukul orang. Intinya adalah bahwa kesalahan tidak sepenuhnya berada di tangan si pelaku, karena seperti lagunya pak Basofi Sudirman: "tidak semua pelaku pemukulan laki-laki bersalah padamu."
 
Setuju dengan saya? 


Nama Anda
New Johny WussUpdated: 3:07 PM

0 komentar:

Post a Comment

Copyscape

Protected by Copyscape
Powered by Blogger.

Paling Dilihat

CB