Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 17 Juli, siswa-siswi sekolah sampai dengan tingkat menengah atas (SMA), sudah memulai tahun pelajaran yang baru.
Mereka yang baru masuk SMP dan atau SMA pastinya merasakan kegembiraan tersendiri karena bisa memakai seragam baru [dari putih/merah menjadi putih/biru bagi yang masuk SMP, dan dari putih/biru menjadi putih/abu-abu bagi yang masuk SMA].
Bagi yang baru masuk SMA, nikmatilah masa sekolah kalian [karena (katanya) masa SMA adalah masa sekolah yang paling indah] sebelum memasuki masa kuliah dan kerja yang (sekali lagi katanya) seperti "neraka".
OK, cukup ngelanturnya. 😁
Di postingan ini saya tidak akan membahas panjang lebar tentang masa-masa sekolah yang sangat menyenangkan, bayangkan saja, kita tidak (baca: belum) perlu memikirkan masa depan, semua kebutuhan kita akan selalu dipenuhi oleh orang tua, tidak perlu memikirkan saingan bisnis [dan cinta (atau sudah?)], tidak takut dikejar deadline pekerjaan, tidak perlu memikirkan rumah tangga dan segala tetek bengek-nya, dan lain sebagainya [tuh kan jadi panjang lagi :D].
Di postingan kali ini saya akan membagikan sedikit pelajaran yang saya dapatkan secara tidak sengaja saat sedang istirahat makan siang.
Sekedar Anda tahu, saya biasa menikmati santap siang di sebuah warung pinggir jalan di depan kantor saya, kebetulan siang hari itu saya duduk satu meja dengan dua orang bapak (sebut saja Markucel dan Marsudi) yang sedang asyik mengobrol. Karena satu meja, dan karena pendengaran saya yang tajam berkat rajin latihan beladiri (apa hubungannya coba), saya tidak sengaja mendengarkan obrolan mereka.
Inti dari obrolan mereka adalah saling "memamerkan" anaknya yang baru saja masuk SMA. Pak Markucel dengan bangganya bercerita bahwa anaknya berhasil masuk ke SMA 4, salah satu sekolah favorit di kota M, yang kemudian dibalas pak Marsudi dengan memamerkan anaknya yang juga berhasil masuk sekolah favorit lainnya di kota M yaitu SMKN 4. Mendengar hal itu, pak Markucel terlihat sedikit heran, karena usut punya usut anak dari pak Marsudi ternyata memiliki NUN (Nilai Ujian Nasional) yang lebih tinggi daripada anak pak Markucel. Pak Markucel pun bertanya kepada pak Marsudi kenapa tidak memasukkan anaknya ke SMA 3 atau SMA D*mpo saja (SMA D*mpo adalah salah satu SMA swasta terbaik di kota M, bahkan kabarnya lebih berkualitas daripada SMA negeri).
Jawaban pak Marsudi inilah yang bikin saya merasa kagum: "Lha anakku pancen senenge ning kono pak, sing penting arek e seneng, sekolah ning endi-endi padha bae, sing penting arek e isa nyaman" (anakku memang memilih masuk kesitu pak, yang penting anaknya senang, sekolah dimanapun sama saja, yang penting anaknya merasa nyaman).
Jawaban yang fantastis.
Anda tahu bahwa sekarang ini banyak orang tua (terutama ibu-ibu *maaf tidak bermaksud mendiskriminasi 😁) yang berusaha membuat anaknya menjadi yang "terbaik" di antara anak-anak lain seusianya. Mereka memasukkan anak-anaknya ke tempat les piano, les biola, les bahasa Inggris, ataupun les matematika dengan tujuan supaya bisa "menyombongkan" prestasi anak-anaknya di depan orang tua yang lain.
Para orang tua tersebut lupa bahwa yang harus "bekerja keras" adalah anak-anaknya yang belum tentu menyukai bidang yang "dipaksakan" oleh orang tuanya untuk dikuasai dan diprestasii (ini kata bukan ya?). Para orang tua tersebut memaksa si anak untuk berprestasi di bidang yang mungkin tidak disukainya demi kepentingan mereka sendiri, demi "harga diri" mereka sendiri, dan melupakan (baca: tidak peduli) dengan perasaan si anak. Mereka lupa bahwa kesenangan dan kenyamanan anak-anak mereka jauh lebih penting daripada "kesombongan" mereka.
Tentu saja tidak semua orang tua seperti itu, ada juga orang tua yang mendukung kesenangan dan minat anak-anaknya (seperti pak Marsudi diatas) walaupun mungkin minat dan kesenangan tersebut kurang populer, seperti misalnya latihan seni beladiri (walaupun menjadi juara dalam suatu kejuaraan beladiri juga merupakan suatu kebanggaan bagi ortu).
Jadi, ortu seperti apakah Anda? [atau bagi yang belum jadi ortu, mau jadi ortu seperti apakah Anda?]. Jadi seperti pak Marsudi atau ikut-ikutan mainstream memaksakan kehendak Anda pada anak-anak Anda?
Dan karena dua hari yang lalu (23/7) kita memperingati Hari Anak Nasional (hayo siapa yang gak ingat?), lain kali kalau Anda menginginkan anak Anda berprestasi pada satu bidang (atau lebih "parah" berprestasi di semua bidang, yang gak mungkin btw), cari tahulah apa yang menjadi minat dari anak Anda, jangan memaksakan minat Anda pada anak Anda.
Kalau anak Anda kurang pandai dalam matematika misalnya, jangan paksa anak Anda untuk ikut les matematika hanya karena anak tetangga sangat pintar dalam pelajaran matematika, karena mungkin memang bukan disitu minatnya. Ingat bahwa anak Anda-lah (dan bukan Anda) yang harus menghabiskan waktunya untuk ikut les, untuk mencurahkan pikiran dan tenaganya pada sesuatu yang mungkin bukan kegemarannya.
Kalau tetap Anda paksakan, mungkin hasilnya bisa baik (nilai pelajaran matematika-nya meningkat, menjadi juara lomba matematika, dan sebagainya), tapi bagaimana dengan mental dan psikisnya? Ingat bahwa masa anak-anak adalah masa bermain, masa untuk mencari dan menemukan minat dan kegemaran (yang tidak bisa kita paksakan dan hanya bisa kita bimbing supaya tetap positif) serta dengan senang hati mencurahkan perhatian, tenaga, dan pikirannya pada minat dan kegemarannya itu.
Bayangkan apa yang terjadi kalau Anda memaksa mereka untuk melakukan apa yang tidak mereka sukai? mereka bisa saja mengalami stres, depresi, atau bahkan memberontak.
Akan sangat berbeda kalau Anda mendukung minat anak-anak Anda. Misalnya anak Anda berminat dalam seni beladiri tertentu, dan Anda mengikutkan mereka untuk berlatih seni beladiri tersebut, tanpa Anda paksapun, dengan senang hati mereka akan "menuruti" Anda, Anda hanya perlu membimbing dan mendampingi mereka, dijamin 99% mereka akan berprestasi.
"Kalau seni beladiri saya gak mendukung ah, takut anak saya jadi menyukai kekerasan". Eits... jangan salah, kebalikan dari kekhawatiran Anda, latihan seni beladiri justru memberi banyak manfaat positif bagi anak-anak Anda.
Kembali ke jawaban pak Marsudi di atas, jawaban tersebut sangat sesuai dengan mental seorang praktisi seni beladiri yang tidak akan menggunakan "ilmu" beladirinya untuk kepentingannya sendiri. Jawaban tersebut sangat klop dengan salah satu baris janji kenshi dalam beladiri Shorinji Kempo yang berbunyi: "Akan mengamalkan Shorinji Kempo bagi masyarakat banyak dan tidak hanya untuk kepentingan pribadi". (Tentunya di aliran beladiri lain juga terdapat sumpah atau janji semacam ini).
Bagaimana mungkin mengamalkan beladiri untuk kepentingan masyarakat banyak, Anda bertanya? Anda perlu tahu bahwa seni beladiri tidak hanya mengajarkan teknik atau cara-cara untuk berkelahi, seni beladiri juga mengajarkan etika dan budi pekerti, selain sikap bushido dan semangat pantang menyerah, hal-hal inilah yang akan bisa diamalkan dalam masyarakat [walaupun teknik beladiri juga bisa diamalkan bagi masyarakat banyak, misalnya ketika kita,dengan pengetahuan beladiri kita, melumpuhkan seseorang yang mengganggu ketertiban umum].
Memang benar bahwa tanpa latihan beladiri-pun, kita juga bisa mengajarkan etika dan budi pekerti, tetapi kenyataan yang saya lihat adalah praktisi beladiri justru lebih beretika daripada orang awam.
Kenapa saya berani berpendapat begitu? Karena dalam latihan, kita selalu dibiasakan untuk menghormati dan menghargai tidak hanya pelatih atau rekan latihan, tetapi juga bawahan kita. Bentuk penghormatan dan penghargaan tersebut adalah dengan melakukan rei/gassho/salam setiap kali memulai dan mengakhiri latihan, setiap kali melakukan sparring/sambung, atau setiap kali mengaplikasikan waza/teknik kepada rekan latihan. Kebiasaan tersebut akan terbawa dalam kehidupan sehari-hari berupa sikap rendah hati, dan menghormati serta menghargai orang lain siapapun orangnya.
Sebelum menutup postingan ini, ingatlah bahwa Anda bisa "menyombongkan diri" dengan memamerkan prestasi anak-anak Anda bukan karena usaha Anda (secara teknis Anda memang ikut berusaha dengan membiayai semua kebutuhan anak-anak Anda, tapi bukan itu intinya) tetapi berkat kerja keras dari anak-anak Anda.
Jangan hanya karena "harga diri" dan kesombongan Anda, anak-anak Anda-lah yang jadi "korban". Dan untuk semua anak Indonesia, selamat memperingati Hari Anak Nasional.
Mereka yang baru masuk SMP dan atau SMA pastinya merasakan kegembiraan tersendiri karena bisa memakai seragam baru [dari putih/merah menjadi putih/biru bagi yang masuk SMP, dan dari putih/biru menjadi putih/abu-abu bagi yang masuk SMA].
Bagi yang baru masuk SMA, nikmatilah masa sekolah kalian [karena (katanya) masa SMA adalah masa sekolah yang paling indah] sebelum memasuki masa kuliah dan kerja yang (sekali lagi katanya) seperti "neraka".
OK, cukup ngelanturnya. 😁
Di postingan ini saya tidak akan membahas panjang lebar tentang masa-masa sekolah yang sangat menyenangkan, bayangkan saja, kita tidak (baca: belum) perlu memikirkan masa depan, semua kebutuhan kita akan selalu dipenuhi oleh orang tua, tidak perlu memikirkan saingan bisnis [dan cinta (atau sudah?)], tidak takut dikejar deadline pekerjaan, tidak perlu memikirkan rumah tangga dan segala tetek bengek-nya, dan lain sebagainya [tuh kan jadi panjang lagi :D].
Di postingan kali ini saya akan membagikan sedikit pelajaran yang saya dapatkan secara tidak sengaja saat sedang istirahat makan siang.
Sekedar Anda tahu, saya biasa menikmati santap siang di sebuah warung pinggir jalan di depan kantor saya, kebetulan siang hari itu saya duduk satu meja dengan dua orang bapak (sebut saja Markucel dan Marsudi) yang sedang asyik mengobrol. Karena satu meja, dan karena pendengaran saya yang tajam berkat rajin latihan beladiri (apa hubungannya coba), saya tidak sengaja mendengarkan obrolan mereka.
Inti dari obrolan mereka adalah saling "memamerkan" anaknya yang baru saja masuk SMA. Pak Markucel dengan bangganya bercerita bahwa anaknya berhasil masuk ke SMA 4, salah satu sekolah favorit di kota M, yang kemudian dibalas pak Marsudi dengan memamerkan anaknya yang juga berhasil masuk sekolah favorit lainnya di kota M yaitu SMKN 4. Mendengar hal itu, pak Markucel terlihat sedikit heran, karena usut punya usut anak dari pak Marsudi ternyata memiliki NUN (Nilai Ujian Nasional) yang lebih tinggi daripada anak pak Markucel. Pak Markucel pun bertanya kepada pak Marsudi kenapa tidak memasukkan anaknya ke SMA 3 atau SMA D*mpo saja (SMA D*mpo adalah salah satu SMA swasta terbaik di kota M, bahkan kabarnya lebih berkualitas daripada SMA negeri).
Jawaban pak Marsudi inilah yang bikin saya merasa kagum: "Lha anakku pancen senenge ning kono pak, sing penting arek e seneng, sekolah ning endi-endi padha bae, sing penting arek e isa nyaman" (anakku memang memilih masuk kesitu pak, yang penting anaknya senang, sekolah dimanapun sama saja, yang penting anaknya merasa nyaman).
Image dari pixabay.com |
Anda tahu bahwa sekarang ini banyak orang tua (terutama ibu-ibu *maaf tidak bermaksud mendiskriminasi 😁) yang berusaha membuat anaknya menjadi yang "terbaik" di antara anak-anak lain seusianya. Mereka memasukkan anak-anaknya ke tempat les piano, les biola, les bahasa Inggris, ataupun les matematika dengan tujuan supaya bisa "menyombongkan" prestasi anak-anaknya di depan orang tua yang lain.
Para orang tua tersebut lupa bahwa yang harus "bekerja keras" adalah anak-anaknya yang belum tentu menyukai bidang yang "dipaksakan" oleh orang tuanya untuk dikuasai dan diprestasii (ini kata bukan ya?). Para orang tua tersebut memaksa si anak untuk berprestasi di bidang yang mungkin tidak disukainya demi kepentingan mereka sendiri, demi "harga diri" mereka sendiri, dan melupakan (baca: tidak peduli) dengan perasaan si anak. Mereka lupa bahwa kesenangan dan kenyamanan anak-anak mereka jauh lebih penting daripada "kesombongan" mereka.
Tentu saja tidak semua orang tua seperti itu, ada juga orang tua yang mendukung kesenangan dan minat anak-anaknya (seperti pak Marsudi diatas) walaupun mungkin minat dan kesenangan tersebut kurang populer, seperti misalnya latihan seni beladiri (walaupun menjadi juara dalam suatu kejuaraan beladiri juga merupakan suatu kebanggaan bagi ortu).
Jadi, ortu seperti apakah Anda? [atau bagi yang belum jadi ortu, mau jadi ortu seperti apakah Anda?]. Jadi seperti pak Marsudi atau ikut-ikutan mainstream memaksakan kehendak Anda pada anak-anak Anda?
Dan karena dua hari yang lalu (23/7) kita memperingati Hari Anak Nasional (hayo siapa yang gak ingat?), lain kali kalau Anda menginginkan anak Anda berprestasi pada satu bidang (atau lebih "parah" berprestasi di semua bidang, yang gak mungkin btw), cari tahulah apa yang menjadi minat dari anak Anda, jangan memaksakan minat Anda pada anak Anda.
Kalau anak Anda kurang pandai dalam matematika misalnya, jangan paksa anak Anda untuk ikut les matematika hanya karena anak tetangga sangat pintar dalam pelajaran matematika, karena mungkin memang bukan disitu minatnya. Ingat bahwa anak Anda-lah (dan bukan Anda) yang harus menghabiskan waktunya untuk ikut les, untuk mencurahkan pikiran dan tenaganya pada sesuatu yang mungkin bukan kegemarannya.
Kalau tetap Anda paksakan, mungkin hasilnya bisa baik (nilai pelajaran matematika-nya meningkat, menjadi juara lomba matematika, dan sebagainya), tapi bagaimana dengan mental dan psikisnya? Ingat bahwa masa anak-anak adalah masa bermain, masa untuk mencari dan menemukan minat dan kegemaran (yang tidak bisa kita paksakan dan hanya bisa kita bimbing supaya tetap positif) serta dengan senang hati mencurahkan perhatian, tenaga, dan pikirannya pada minat dan kegemarannya itu.
Bayangkan apa yang terjadi kalau Anda memaksa mereka untuk melakukan apa yang tidak mereka sukai? mereka bisa saja mengalami stres, depresi, atau bahkan memberontak.
Akan sangat berbeda kalau Anda mendukung minat anak-anak Anda. Misalnya anak Anda berminat dalam seni beladiri tertentu, dan Anda mengikutkan mereka untuk berlatih seni beladiri tersebut, tanpa Anda paksapun, dengan senang hati mereka akan "menuruti" Anda, Anda hanya perlu membimbing dan mendampingi mereka, dijamin 99% mereka akan berprestasi.
"Kalau seni beladiri saya gak mendukung ah, takut anak saya jadi menyukai kekerasan". Eits... jangan salah, kebalikan dari kekhawatiran Anda, latihan seni beladiri justru memberi banyak manfaat positif bagi anak-anak Anda.
Kembali ke jawaban pak Marsudi di atas, jawaban tersebut sangat sesuai dengan mental seorang praktisi seni beladiri yang tidak akan menggunakan "ilmu" beladirinya untuk kepentingannya sendiri. Jawaban tersebut sangat klop dengan salah satu baris janji kenshi dalam beladiri Shorinji Kempo yang berbunyi: "Akan mengamalkan Shorinji Kempo bagi masyarakat banyak dan tidak hanya untuk kepentingan pribadi". (Tentunya di aliran beladiri lain juga terdapat sumpah atau janji semacam ini).
Bagaimana mungkin mengamalkan beladiri untuk kepentingan masyarakat banyak, Anda bertanya? Anda perlu tahu bahwa seni beladiri tidak hanya mengajarkan teknik atau cara-cara untuk berkelahi, seni beladiri juga mengajarkan etika dan budi pekerti, selain sikap bushido dan semangat pantang menyerah, hal-hal inilah yang akan bisa diamalkan dalam masyarakat [walaupun teknik beladiri juga bisa diamalkan bagi masyarakat banyak, misalnya ketika kita,dengan pengetahuan beladiri kita, melumpuhkan seseorang yang mengganggu ketertiban umum].
Memang benar bahwa tanpa latihan beladiri-pun, kita juga bisa mengajarkan etika dan budi pekerti, tetapi kenyataan yang saya lihat adalah praktisi beladiri justru lebih beretika daripada orang awam.
Kenapa saya berani berpendapat begitu? Karena dalam latihan, kita selalu dibiasakan untuk menghormati dan menghargai tidak hanya pelatih atau rekan latihan, tetapi juga bawahan kita. Bentuk penghormatan dan penghargaan tersebut adalah dengan melakukan rei/gassho/salam setiap kali memulai dan mengakhiri latihan, setiap kali melakukan sparring/sambung, atau setiap kali mengaplikasikan waza/teknik kepada rekan latihan. Kebiasaan tersebut akan terbawa dalam kehidupan sehari-hari berupa sikap rendah hati, dan menghormati serta menghargai orang lain siapapun orangnya.
Sebelum menutup postingan ini, ingatlah bahwa Anda bisa "menyombongkan diri" dengan memamerkan prestasi anak-anak Anda bukan karena usaha Anda (secara teknis Anda memang ikut berusaha dengan membiayai semua kebutuhan anak-anak Anda, tapi bukan itu intinya) tetapi berkat kerja keras dari anak-anak Anda.
Jangan hanya karena "harga diri" dan kesombongan Anda, anak-anak Anda-lah yang jadi "korban". Dan untuk semua anak Indonesia, selamat memperingati Hari Anak Nasional.
0 komentar:
Post a Comment