Pariwara

Followers

5 Tokoh Beladiri Indonesia Terkemuka

Posted by Yonatan Adi on 2:08 PM

Setelah beberapa saat yang lalu saya menulis tentang 7 tokoh beladiri modern paling berpengaruh yang sebagian besar (5 dari 7 lebih tepatnya) berkebangsaan Jepang, saya berpikir kenapa saya tidak menulis tentang tokoh beladiri yang berasal dari Indonesia saja ya?

Faktanya, Indonesia juga memiliki beberapa tokoh beladiri yang mumpuni dan diakui kehebatannya bahkan sampai keluar negeri. (Karena gak mau dibilang kurang nasionalis), di postingan ini saya akan menulis tentang 5 tokoh beladiri Indonesia terkemuka versi Goblog.

Dan sebelum saya mendapat amukan masal, saya ingin meluruskan satu hal: semua tokoh yang saya tuliskan di dalam postingan ini adalah seorang pendekar besar, kendati saya memberi penomoran, penomoran tersebut bukanlah sebuah urutan, penomoran tersebut saya dasarkan pada jaman dimana pendekar yang bersangkutan hidup dan bukan berarti... sekali lagi bukan berarti pendekar yang berada di #4 misalnya kalah hebat dari pendekar yang berada di #1.

Photo credit: Zaki Razali
Dan karena keterbatasan saya, tidak semua tokoh beladiri Indonesia bisa saya rangkum disini. Silakan berbagi di kolom komentar kalau Anda mengetahui profil pendekar besar yang belum tercantum di postingan saya ini.

Ok, langsung saja disimak  

#1. KH. Busyro Syuhada (1872 - 1942)

Lahir pada tahun 1872 di Banjarnegara, Jawa Tengah, dari seorang ayah bernama RM. Kyai Syuhada, Ibrahim Setrodrono (nama kecil KH. Busyiro) yang sejak kecil menerima ilmu silat dari sang ayah, tumbuh menjadi pendekar yang menguasai silat ragawi dan batin sekaligus seorang ulama yang sangat disegani.

Menginjak usia remaja, Ibrahim, yang sejak kecil memiliki watak keras, tangguh, dan pemberani, terjun aktif dalam pergerakan perjuangan melawan kolonial Belanda yang menyebabkan dirinya menjadi buronan pemerintah kolonial Belanda.

Tidak mau tertangkap, Ibrahim kemudian berkelana hingga sampai ke tanah Betawi untuk kemudian berziarah ke Tanah Suci Mekah. Tidak hanya berkelana (dan kemudian menunaikan ibadah haji), Ibrahim juga belajar berbagai aliran pencak silat di daerah-daerah yang dikunjunginya.

Sekembalinya dari tanah suci, Ibrahim mendirikan Pondok Pesantren Binorong di Banjarnegara. Dan karena saat itu beliau masih menjadi buronan Belanda, Ibrahim kemudian mengubah namanya menjadi KH. Busyro Syuhada.

Pondok Pesantren Binorong, yang selain mengajarkan ilmu agama juga mengajarkan ilmu silat, berkembang dengan pesat dan melahirkan beberapa santri dan pendekar hebat seperti Achyat (yang kemudian berganti nama menjadi H. Burhan, adik misan KH. Busyro), M. Yasin adik kandung beliau, dan Soedirman (yang kelak menjadi seorang jenderal yang terkenal dengan gelar Jenderal Besar Soedirman).

Pada tahun 1921, dalam Konferensi Pemuda Muhammadiyah, KH. Busyro bertemu dengan kakak beradik A. Dimyati dan M. Wahib. Diawali dengan adu ilmu silat antara M. Wahib dengan H. Burhan, kedua kakak beradik ini kemudian mengangkat KH. Busyro sebagai guru.

Karena KH. Busyro kemudian pindah dan menetap di Yogyakarta, aliran silatnya (yang disebut aliran Banjaran) yang pada mulanya dikembangkan di Pondok Pesantren Binorong, kemudian dikembangkan di Kauman, Yogyakarta. Atas restunya, A. Dimyati dan M. Wahib diijinkan membuka perguruan dan menerima murid.

Pada tahun 1925 berdirilah perguruan pencak silat di Kauman yang disebut Cikauman. Dari perguruan ini lahirlah pendekar M. Syamsuddin yang kemudian diijinkan membuka perguruan yang disebut Seranoman. Perguruan Seranoman, yang terletak di sebelah utara Kauman, melahirkan pendekar muda M. Zahid yang mempunyai seorang murid andalan bernama Moh. Barie Irsyad.

Moh. Barie Irsyad yang dinyatakan lulus dari gemblengan gurunya kemudian mendirikan perguruan Kasegu. Atas desakan murid-murid perguruan Kasegu kepada Moh. Barie Irsyad untuk menyatukan perguruan yang sejalur (yaitu Cikauman, Seranoman, dan Kasegu), pada tanggal 31 Juli 1963 di Kauman, Yogyakarta, berdirilah perguruan Tapak Suci.

Pendekar besar KH. Busyro Syuhada wafat di usia 70 tahun pada bulan Ramadan tahun 1942.

#2. Ki Ngabei Ageng Soerodiwirdjo (1876 - 1944)

Ki Ngabei Ageng Soerodiwirdjo atau yang lebih dikenal dengan sebutan Eyang Suro merupakan anak sulung dari Ki Ageng Soerodiwirdjo yang lahir di Surabaya pada tahun 1876 dengan nama kecil Muhamad Masdan. Keluarganya adalah keturunan ningrat dari Batoro Katong, penguasa di Ponorogo yang masih satu garis keturunan dengan Prabu Brawijaya, raja Majapahit.

Setelah lulus SR (sekarang SD) pada tahun 1890, beliau diangkat anak oleh pamannya yang merupakan seorang wedono (pembantu bupati) di Wonokromo. Kemudian pada tahun 1891, beliau ngenger (ikut sebagai anak) pada seorang kontrolir Belanda untuk dipekerjakan sebagai juru tulis meskipun sebelumnya harus melalui proses magang terlebih dulu.

Selama menjalani proses magang, Eyang Suro menyempatkan diri untuk mengaji di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, di sinilah untuk pertama kalinya beliau belajar pencak silat.

Ketika pindah ke Bandung, tepatnya di daerah Parahyangan pada tahun 1892, Eyang Suro berkesempatan mempelajari berbagai aliran pencak silat seperti Cimande, Sumedangan, dan Cikalong. Pada tahun 1893 beliau pindah ke Jakarta, kesempatan tersebut dimanfaatkan Eyang Suro untuk mempelajari berbagai aliran silat Betawi seperti Betawian, dan ilmu toya. Pada tahun 1894, Eyang Suro pindah bersama dengan orang Belanda yang di-ngengeri-nya ke daerah Bengkulu, dan 6 bulan kemudian pindah lagi ke Padang. Di pulau Sumatera ini, Eyang Suro sempat berguru kepada beberapa orang pendekar silat antara lain Datuk Rajo Batuah dan Nyoman Ida Gempol atau yang terkenal dengan gelarnya Raja Kenanga Mangga Tengah [bandingkan dengan nama desa Winongo, Madiun].

Karena berbakat dan memiliki kemauan yang keras, Eyang Suro berhasil menghimpun berbagai ilmu silat yang dikuasainya serta menyusun ilmu silat baru yang diberinya nama "Joyo Gendelo".

Pada tahun 1902, Eyang Suro kembali ke kota kelahirannya, Surabaya, dan bekerja sebagai anggota polisi. Tahun 1903, di daerah tambak Gringsing, Ki Ageng Soerodiwirjo mendirikan sebuah perkumpulan silat yang diberi nama "Sedulur Tunggal Kecer". Nama tersebut kemudian berubah pada tahun 1917 menjadi "Persaudaraan Setia Hati" dengan pusatnya di desa Winongo, kota Madiun, Jawa Timur.

Ki Ageng Soerodiwirdjo atau Eyang Suro wafat pada tanggal 10 Nopember 1944 dalam usia 68 tahun. 

#3. RM. Soebandiman Dirdjoadmodjo (1913 - 1983)

Raden Mas Soebandiman Dirdjoadmodjo atau yang akrab dipanggil Dirdjo adalah putra dari RM Pakoe Soedirdjo yang lahir pada tanggal 8 Januari 1913 di lingkungan Kraton Paku Alaman, Yogyakarta.

Di usia yang masih sangat muda, Dirdjo telah menampakkan bakat dalam seni beladiri, bahkan dikatakan bahwa Dirdjo kecil sudah menguasai ilmu silat di lingkungan kraton pada usia 9 tahun. Karena ketertarikannya yang besar pada seni beladiri, setelah lulus dari HIK (Hollandsche Indische Kweekschool) atau sekolah guru bantu, Dirdjo muda memutuskan untuk berkelana demi memperdalam ilmu silatnya.

Selama dalam pengembaraannya, Dirdjo bertemu dan berguru pada banyak guru silat, beberapa diantaranya adalah Kyai Hasan Basri di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, bapak Sahid Sahab di Solo, dan bapak Soegito di Semarang. Selain itu Dirdjo juga belajar ilmu silat yang berasal dari luar Jawa yaitu silat Minangkabau dan Aceh. Tidak hanya ilmu silat, Dirdjo muda juga mempelajari ilmu kanuragan dari kakeknya, Jogosurasmo. Tidak hanya itu, saat menetap di Banyumas, Dirdjo juga sempat berguru pada seorang Tionghoa bernama Yap Kie San (yang menguasai kungfu shaolin) hingga mencapai tahap tertinggi.

Dari berbagai aliran pencak silat, kungfu, dan ilmu kanuragan itulah Dirdjo muda mulai meramu ilmu silat-nya sendiri.

Sempat mengajar silat di Taman Siswa atas permintaan pamannya yaitu Ki Hadjar Dewantoro, Dirdjo akhirnya diangkat menjadi pegawai negeri pada tahun 1947. Pada tanggal 2 Juli 1955, saat mengabdi di Departemen Kebudayaan Jawa Timur, Dirdjo (dengan dibantu oleh Imam Ramelan) mendirikan kursus pencak silat Keluarga Silat Indonesia Perisai Diri.

RM Soebandiman Dirjdoadmodjo wafat pada tanggal 9 Mei 1983, dan pada tahun 1986 dianugerahi gelar "Pendekar Purna Utama" oleh pemerintah Indonesia. 

#4. R. Totong Kiemdarto (1953 - 1997)

R. Totong Kiemdarto adalah putra dari pasangan RM Sentardi dan Oey Kiem Lian Nio yang lahir di Madiun pada tanggal 20 Oktober 1953.

Totong muda terkenal sebagai seorang pemuda yang gemar berkelahi, sering terlibat dalam pertarungan jalanan dan pertandingan pencak dor atau pertandingan bebas antar aliran. Totong, yang saat itu sudah menyandang gelar pendekar dari salah satu perguruan silat di Madiun, bahkan sering memimpin masa perguruannya dalam perkelahian skala besar.

Namanya perkelahian, selain menjadi pemenang, tentunya Totong muda juga pernah merasakan kekalahan. Setelah beberapa kali mengalami kekalahan, Totong muda bersumpah: "Kalau aku kalah lagi, aku akan keluar dari perguruan sekaligus keluar dari kota Madiun." Dan benar saja, pertarungan terakhir yang dipimpinnya berakhir dengan kekalahan. Masa yang dipimpinnya kocar-kacir dan harus ditarik mundur dari arena perkelahian.

Kejadian tersebut semakin membulatkan tekadnya untuk keluar dari kota Madiun dan berkelana ke berbagai wilayah di pulau Jawa untuk memperdalam ilmu beladirinya. Dalam pengembaraannya, Totong muda mempelajari berbagai aliran silat dan kungfu sampai akhirnya tibalah dirinya di Banten. Ditempat inilah Totong menemukan kemantaban hati setelah mempelajari berbagai ilmu kanuragan dan kebatinan/kerohanian.

Setelah merasa cukup menimba ilmu, Totong kembali ke Madiun untuk menantang kembali perguruan yang mengalahkannya terakhir kali. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Totong seorang diri mampu memukul mundur puluhan orang dari perguruan tersebut.

Setelah berhasil membalas dendam, Totong Kiemdarto kemudian menyusun dan menggabungkan berbagai ilmu yang sudah dipelajarinya dan pada tanggal 15 Januari 1980 mendirikan perguruan silat sendiri yang diberi nama "Ikatan Keluarga Silat Putra Indonesia (IKS PI)" yang kemudian pada tahun 1983 diberi tambahan nama "Kera Sakti".

R. Totong Kiemdarto meninggal pada tanggal 24 Desember 1997 pada usia yang masih sangat muda dan (dari beberapa catatan yang ada) tidak meninggalkan putra ataupun pewaris dari perguruannya. 

#5. Poerwoto Hadi Poernomo (1944 - 2014)

Poerwoto Hadi Poernomo lahir di Yogyakarta pada tanggal 1 Desember 1944. Beliau adalah putra dari Raden Saring Hadi Poernomo, dan merupakan sulung dari 12 bersaudara.

Masa kecil Mas Poeng--panggilan akrab Poerwoto HP--tidak berbeda jauh dari anak kecil lain seusianya, tapi satu hal yang membuat Mas Poeng berbeda dengan anak kecil pada umumnya adalah kegemarannya berkelahi.

Dalam kesehariannya, Mas Poeng kecil seringkali terlibat perkelahian dengan siapapun, berapapun jumlahnya, dan dimanapun juga, bahkan di lingkungan sekolahnya (yayasan BOPKRI) sendiri. Dalam berkelahi Mas Poeng juga tidak segan-segan melukai lawan-lawannya dengan menggunakan senjata.

Mengetahui hal ini, sang ayah tidak tinggal diam, dan merasa berkewajiban untuk menurunkan ilmu silat yang pernah dipelajarinya. Bapak Saring mengawalinya dengan menasehati Mas Poeng kecil tentang hakikat dari ilmu beladiri. Setelah itu, bapak Saring juga menunjukkan beberapa jurus yang bisa digunakan untuk melumpuhkan lawan bersenjata hanya dengan tangan kosong dan memberi Mas Poeng golok serta memancing emosinya untuk mau menyerang beliau. Serangan demi serangan yang dilancarkan oleh Mas Poeng kecil dengan mudahnya dihindari oleh beliau, dan hanya dengan beberapa gerakan beliau berhasil melumpuhkan Mas Poeng kecil dan membuat kepalanya terluka akibat membentur tembok.

Kejadian tersebut membuat Mas Poeng kecil berhenti berkelahi menggunakan senjata dan mulai mengikuti latihan demi latihan yang diberikan oleh ayahnya.

Tidak hanya berlatih silat dibawah bimbingan sang ayah, Mas Poeng kecil juga sempat dilatih silat oleh pak dhe-nya (bapak Sarengat HP) dan juga beberapa kyai kondang Yogyakarta saat itu seperti KH Buchori, mbah Djojo, dan KH Syuhada. Mas Poeng bahkan diangkat anak oleh KH Syuhada dan mendapat julukan "benuk" yang berarti "air yang siap menelan apapun".

Setelah beberapa tahun berlatih, Mas Poeng mulai mengajak teman-temannya untuk ikut berlatih. Bapak Saring kemudian memberi amanat kepada Mas Poeng untuk mengembangkan perguruan, dan pada tahun 1963--tepatnya tanggal 2 April 1963, Mas Poeng bersama dengan saudara seperguruan sekaligus adik kandungnya sendiri yaitu Budi Santoso Hadi Poernomo mendirikan perguruan silat yang diberi nama "Merpati Putih" yang merupakan akronim dari "Mersudi patitising tindak pusakane titising hening" (yang secara garis besar berarti "mencari hingga menemukan kebenaran dalam keheningan").


__________

Itulah dia 5 tokoh beladiri Indonesia terkemuka versi Goblog yang sebagian besar [atau semuanya??] adalah pendekar pencak silat. Sekali lagi kalau Anda punya informasi tentang profil pendekar besar Indonesia yang lain, tidak usah sungkan untuk membagikannya di kolom komentar dibawah.

Terimakasih.


Nama Anda
New Johny WussUpdated: 2:08 PM

0 komentar:

Post a Comment

Copyscape

Protected by Copyscape

Blog Archive

Powered by Blogger.

Paling Dilihat

CB