6 - 2 ÷ 1/3 + 2 = ?
Ada yang bisa menjawab soal matematika di atas?
Gampang gan, jawabannya 14.
Kalau Anda menjawab 14, maka jawaban Anda adalah benar...
... - benar salah.
- 2?
Masih salah juga karena jawaban yang tepat adalah 2.
Kok bisa 2?
Di dalam operasi matematika, terdapat sebuah aturan urutan pengerjaan yang sudah disepakati secara universal.
Di Indonesia, terutama di Jawa, urutan tersebut dirumuskan sebagai 'pipalanda' (dibaca: pipolondo) yang merupakan singkatan dari ping (perkalian), para (dibaca: poro = pembagian), lan (dan), suda (dibaca: sudo = pengurangan) yang artinya kurang lebih adalah 'kalau di dalam suatu operasi matematika terdapat tanda kali/bagi bersamaan dengan tanda kurang/tambah, maka perkalian/pembagian harus dikerjakan terlebih dulu daripada pengurangan/penjumlahan'.
Di Barat, urutan ini dijabarkan dengan lebih spesifik lagi. Dinamakan PEMDAS yang merupakan akronim dari Parentheses (tanda kurung), Exponents (bilangan pangkat), Multiplication and Division (perkalian dan pembagian), Addition and Substraction (penjumlahan dan pengurangan). Dengan catatan kalau ditemukan tanda yang setingkat (misalnya perkalian dan pembagian) dalam satu operasi matematika yang sama, maka dikerjakan urut dari kiri ke kanan.
Kita ambil contoh di atas:
6 - 2 ÷ 1/3 + 2 = ?
Ada 3 tanda di dalam operasi matematika ini, yaitu: - (kurang), ÷ (bagi), dan + (tambah). Sesuai aturan PEMDAS, 2 ÷ 1/3 harus dikerjakan terlebih dulu:
2 ÷ 1/3 = 2 x 3 = 6
Sehingga operasi tersebut menjadi
6 - 6 + 2 = ?
Karena ada tanda yang setingkat (tambah dan kurang), pengerjaan dilakukan urut dari kiri kekanan:
6 - 6 = 0 ⇒ 0 + 2 = 2
Saya beri contoh satu lagi:
3 x (2 + 1)² - 4 = ?
Disini ada 5 tanda, yaitu: x, +, (...) (dalam kurung), ² (pangkat dua), dan -. Sesuai dengan PEMDAS, operasi yang berada di dalam tanda kurung harus dikerjakan terlebih dulu:
2 + 1 = 3 ⇒ 3 x 3² - 4
Urutan berikutnya adalah menyelesaikan bilangan kuadrat:
3² = 9 ⇒ 3 x 9 - 4
Selanjutnya selesaikan perkalian:
3 x 9 = 27 ⇒ 27 - 4 = 23
(Hayoo, siapa yang menjawab 15?;p)
Lantas apa hubungannya dengan seni beladiri? (naluri saya mendengar pertanyaan di dalam hati Anda ;p)
Tentu saja tidak ada (ada sih tapi sedikit maksa ;D)
Baca juga: Budomath: Seni Beladiri dan Matematika
Saya hanya ingin menunjukkan bahwa segala sesuatu itu ada urutannya.
Ada yang bisa menjawab soal matematika di atas?
Gampang gan, jawabannya 14.
Kalau Anda menjawab 14, maka jawaban Anda adalah benar...
... - benar salah.
- 2?
Masih salah juga karena jawaban yang tepat adalah 2.
Kok bisa 2?
Di dalam operasi matematika, terdapat sebuah aturan urutan pengerjaan yang sudah disepakati secara universal.
Di Indonesia, terutama di Jawa, urutan tersebut dirumuskan sebagai 'pipalanda' (dibaca: pipolondo) yang merupakan singkatan dari ping (perkalian), para (dibaca: poro = pembagian), lan (dan), suda (dibaca: sudo = pengurangan) yang artinya kurang lebih adalah 'kalau di dalam suatu operasi matematika terdapat tanda kali/bagi bersamaan dengan tanda kurang/tambah, maka perkalian/pembagian harus dikerjakan terlebih dulu daripada pengurangan/penjumlahan'.
Di Barat, urutan ini dijabarkan dengan lebih spesifik lagi. Dinamakan PEMDAS yang merupakan akronim dari Parentheses (tanda kurung), Exponents (bilangan pangkat), Multiplication and Division (perkalian dan pembagian), Addition and Substraction (penjumlahan dan pengurangan). Dengan catatan kalau ditemukan tanda yang setingkat (misalnya perkalian dan pembagian) dalam satu operasi matematika yang sama, maka dikerjakan urut dari kiri ke kanan.
Kita ambil contoh di atas:
6 - 2 ÷ 1/3 + 2 = ?
Ada 3 tanda di dalam operasi matematika ini, yaitu: - (kurang), ÷ (bagi), dan + (tambah). Sesuai aturan PEMDAS, 2 ÷ 1/3 harus dikerjakan terlebih dulu:
2 ÷ 1/3 = 2 x 3 = 6
Sehingga operasi tersebut menjadi
6 - 6 + 2 = ?
Karena ada tanda yang setingkat (tambah dan kurang), pengerjaan dilakukan urut dari kiri kekanan:
6 - 6 = 0 ⇒ 0 + 2 = 2
Saya beri contoh satu lagi:
3 x (2 + 1)² - 4 = ?
Disini ada 5 tanda, yaitu: x, +, (...) (dalam kurung), ² (pangkat dua), dan -. Sesuai dengan PEMDAS, operasi yang berada di dalam tanda kurung harus dikerjakan terlebih dulu:
2 + 1 = 3 ⇒ 3 x 3² - 4
Urutan berikutnya adalah menyelesaikan bilangan kuadrat:
3² = 9 ⇒ 3 x 9 - 4
Selanjutnya selesaikan perkalian:
3 x 9 = 27 ⇒ 27 - 4 = 23
(Hayoo, siapa yang menjawab 15?;p)
Lantas apa hubungannya dengan seni beladiri? (naluri saya mendengar pertanyaan di dalam hati Anda ;p)
Tentu saja tidak ada (ada sih tapi sedikit maksa ;D)
Baca juga: Budomath: Seni Beladiri dan Matematika
Saya hanya ingin menunjukkan bahwa segala sesuatu itu ada urutannya.
Photo credit: mattiaverga via pixabay |
Di dunia pendidikan misalnya; seperti yang kita semua tahu, urutan jenjang pendidikan adalah TB, TK, SD, SMP, SMA, dan kuliah. Akan sangat lucu kalau kita masuk SMP dulu baru masuk SD atau masuk SMA kemudian baru masuk TB.
Demikian pula dalam seni beladiri, urutan adalah sesuatu yang sangat penting. Salah satu sikap dari 8 sikap yang harus dimiliki oleh seorang praktisi atau orang yang belajar seni beladiri adalah 'ikuti urutannya'. Tanpa mengikuti urutan, latihan beladiri kita tidak akan memberi hasil yang baik. Dan kalaupun kita berhasil mencapai tingkatan sabuk hitam dengan latihan yang urutannya salah, sabuk hitam itu hanya akan menjadi sekedar sabuk yang melilit di pinggang kita, atau kata orang jawa: "Sabuk ireng kok mbelgedes".
Mbelgedes disini bukan berarti 'tidak bisa apa-apa', karena mungkin secara teknik beladiri si sabuk hitam ini sangat mumpuni, tetapi secara filosofis dan akhlak sangatlah kurang.
Kalau di beladiri yang saya dalami, urutan-urutan ini sudah sangat jelas tercantum di dalam kurikulum latihan-nya.
Dimulai dengan pendidikan mental (perilaku, akhlak, etika, dan tradisi). Karena apa artinya seorang pe-budo kalau tidak memiliki perilaku, akhlak, dan etika yang baik? Membangun mental dan karakter adalah tujuan utama dari gendai budo (seni beladiri modern), lagipula, bagi orang Jepang, etika (serta akhlak yang baik) dianggap jauh lebih penting daripada kepandaian.
Setelah berhasil melalui gemblengan mental tersebut barulah seorang calon kenshi mendapatkan pendidikan dasar seperti sikap/kuda-kuda (kamae), cara berdiri (tachi kata), posisi kaki (sukui ho), cara bergerak (ashi/tai sabaki), cara jatuh (ukemi), sambil sedikit disusupi filosofi dan teori dasar seperti atemi no go yosho, prinsip 'ledakan', penggunaan 'senjata' di tangan dan kaki, dan sebagainya.
Setelah dianggap cukup menguasai, barulah para calon kenshi tersebut diajari teknik-teknik dasar beladiri seperti pukulan, tendangan, dan tangkisan, serta beberapa waza dasar yang sederhana. Demikian secara bertahap (dan sesuai urutan) latihan terus ditingkatkan sambil tidak melupakan teori dan filosofi tingkat lanjut.
Demikian pula dalam seni beladiri, urutan adalah sesuatu yang sangat penting. Salah satu sikap dari 8 sikap yang harus dimiliki oleh seorang praktisi atau orang yang belajar seni beladiri adalah 'ikuti urutannya'. Tanpa mengikuti urutan, latihan beladiri kita tidak akan memberi hasil yang baik. Dan kalaupun kita berhasil mencapai tingkatan sabuk hitam dengan latihan yang urutannya salah, sabuk hitam itu hanya akan menjadi sekedar sabuk yang melilit di pinggang kita, atau kata orang jawa: "Sabuk ireng kok mbelgedes".
Mbelgedes disini bukan berarti 'tidak bisa apa-apa', karena mungkin secara teknik beladiri si sabuk hitam ini sangat mumpuni, tetapi secara filosofis dan akhlak sangatlah kurang.
Kalau di beladiri yang saya dalami, urutan-urutan ini sudah sangat jelas tercantum di dalam kurikulum latihan-nya.
Dimulai dengan pendidikan mental (perilaku, akhlak, etika, dan tradisi). Karena apa artinya seorang pe-budo kalau tidak memiliki perilaku, akhlak, dan etika yang baik? Membangun mental dan karakter adalah tujuan utama dari gendai budo (seni beladiri modern), lagipula, bagi orang Jepang, etika (serta akhlak yang baik) dianggap jauh lebih penting daripada kepandaian.
Setelah berhasil melalui gemblengan mental tersebut barulah seorang calon kenshi mendapatkan pendidikan dasar seperti sikap/kuda-kuda (kamae), cara berdiri (tachi kata), posisi kaki (sukui ho), cara bergerak (ashi/tai sabaki), cara jatuh (ukemi), sambil sedikit disusupi filosofi dan teori dasar seperti atemi no go yosho, prinsip 'ledakan', penggunaan 'senjata' di tangan dan kaki, dan sebagainya.
Setelah dianggap cukup menguasai, barulah para calon kenshi tersebut diajari teknik-teknik dasar beladiri seperti pukulan, tendangan, dan tangkisan, serta beberapa waza dasar yang sederhana. Demikian secara bertahap (dan sesuai urutan) latihan terus ditingkatkan sambil tidak melupakan teori dan filosofi tingkat lanjut.
Tidak hanya dalam hal teknik dan filosofi, kenaikan tingkat (sabuk) untuk seorang calon kenshi juga harus mengikuti aturan yang ada yaitu dimulai dari putih, kuning, oranye, hijau, biru, coklat, dan hitam. Seorang calon kenshi tidak bisa memulai latihan langsung dari tingkatan sabuk hijau misalnya, tetapi harus memulai dari sabuk putih terlebih dulu.
Sayangnya (tanpa bermaksud merendahkan), saya sering mengamati seorang pelatih yang mengabaikan urutan tersebut (terutama pendidikan mental dan pendidikan dasar) dan langsung mengajari calon kenshi-nya teknik-teknik pukulan, tendangan, dan tangkisan. Bukan salah pelatihnya, tapi karena hampir semua calon kenshi merasa bosan kalau harus melalui dua tahapan tersebut (lagian siapa sih yang tertarik dengan hal-hal 'sepele' seperti itu?), kalau dipaksakan pun banyak dari mereka yang mutung (ngambek, patah hati, tidak mau melanjutkan) dan tidak mau datang lagi di sesi latihan berikutnya.
Karena takut kehilangan cua... eh calon murid potensial, pelatih pun 'terpaksa' menuruti kemauan dari calon-calon kenshi-nya itu. Karena itulah banyak (tidak semua) kenshi jaman now yang kualitasnya di bawah rata-rata. Bukan berarti mereka tidak mampu secara teknik beladiri (saya mungkin kalah) tetapi mereka tidak benar-benar memahami teori, filosofi, dan juga teknik ataupun gerakan dasar. Secara teknik beladiri banyak diantara mereka yang prestasinya (sebagai atlet) luar biasa, tetapi mengalami kesulitan begitu diminta melatih adik-adiknya.
Hal ini jugalah yang menjadi alasan kenapa pendidikan mental dan pendidikan dasar beladiri sering dilewatkan; karena orientasi orang tua yang menginginkan putra-putrinya menjadi atlet dan berprestasi, bukan untuk mendidik mereka menjadi manusia yang lebih baik.
Saya jadi teringat kepada perkataan dari salah seorang sensei saya, "Jangan jadikan prestasi sebagai tujuan utama, jadilah kenshi yang baik terlebih dulu, maka prestasi akan datang dengan sendirinya;" atau kata salah seorang kohai saya, "Sebelum jadi kenshi yang baik, jadilah manusia yang baik." Jangan dibalik, berprestasi dulu baru menjadi kenshi yang baik atau jadi kenshi yang baik sebelum menjadi manusia yang baik.
Semua ada urutannya.
0 komentar:
Post a Comment