Pernahkah Anda melihat ataupun ikut memainkan sebuah permainan yang disebut dengan "Bisik Berantai"?
Permainan wajib yang banyak dimainkan di dalam acara outbond, diklat, penataran, gathering, perkemahan, ataupun acara sejenisnya ini membutuhkan kemampuan menyimak dan juga menyimpan ingatan yang cukup baik dari pesertanya.
Bagi yang belum tahu, permainan ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Permainan wajib yang banyak dimainkan di dalam acara outbond, diklat, penataran, gathering, perkemahan, ataupun acara sejenisnya ini membutuhkan kemampuan menyimak dan juga menyimpan ingatan yang cukup baik dari pesertanya.
Bagi yang belum tahu, permainan ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
- Satu kelompok (biasanya terdiri atas 5-10 orang), berdiri berjajar dengan jarak tertentu yang tidak terlalu rapat.
- Orang pertama dari kelompok tersebut diberi sebuah pesan yang isinya tidak diketahui oleh anggota kelompoknya yang lain.
- Kemudian orang tersebut menyampaikan pesan yang diterimanya kepada orang kedua dengan cara berbisik, sehingga anggota kelompok yang lain tidak bisa mendengarnya.
- Orang kedua kemudian menyampaikan pesan tersebut kepada orang ketiga dengan cara yang sama.
- Orang ketiga kemudian menyampaikan kepada orang ke empat, orang keempat menyampaikan kepada orang kelima, demikian seterusnya sampai dengan orang yang terakhir.
- Orang terakhir kemudian menulis atau menyampaikan pesan tersebut di depan anggota kelompoknya yang lain.
Sstt... penulis artikel ini ganteng ya? Photo credit: Unsplash |
Seorang guru beladiri menurunkan ilmu--yang didapatkan dari gurunya terdahulu--kepada muridnya. Sang murid, yang kemudian menjadi guru menggantikan gurunya, lantas mengajarkan ilmu tersebut kepada muridnya, demikian seterusnya.
Pertanyaannya sekarang adalah: "Apakah ilmu tersebut akan tetap sama (tidak berubah) dari guru yang pertama sampai dengan murid yang terakhir?"
Pertanyaannya sekarang adalah: "Apakah ilmu tersebut akan tetap sama (tidak berubah) dari guru yang pertama sampai dengan murid yang terakhir?"
Kalau dalam permainan bisik berantai--dimana cuma beberapa orang saja yang terlibat dan hanya membutuhkan waktu beberapa menit--saja pesan yang disampaikan oleh orang terakhir kemungkinan besar tidak akan sama dengan pesan yang diterima oleh orang pertama, bagaimana dengan seni beladiri yang melibatkan ratusan orang dan berlangsung dalam kurun waktu ratusan bahkan ribuan tahun?
Setelah mewarisi semua ilmu dari gurunya, seorang murid beladiri (meskipun mungkin bisa meng-copy 100% pengetahuan dan gerakan jurus/ teknik beladiri gurunya) pastinya akan melakukan banyak penyesuaian disana-sini sesuai dengan pemahaman, postur tubuh, dan pengalamannya.
Belum lagi dengan perubahan jaman, dimana ajaran ataupun cara latihan yang relevan 10 tahun yang lalu mungkin sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan sekarang. Ditambah lagi perubahan pola pikir manusia, dan lain sebagainya.
Seni beladiri apapun--seperti juga semua hal di dunia--akan selalu mengalami perubahan, satu-satunya hal yang tetap konstan adalah perubahan itu sendiri.
Tetapi bukan berarti perubahan tersebut akan merombak keseluruhan dari seni beladiri yang bersangkutan, prinsip/ inti dari seni beladiri tersebut akan tetap sama. Sama halnya dengan tubuh kita, dimana setiap 3 bulan sekali seluruh sel di tubuh kita akan diganti dengan yang baru, tetapi jati diri kita tetaplah sama.
Jadi kalau Anda mendengar seorang master beladiri yang menggembar-gemborkan bahwa seni beladiri yang diajarkannya adalah seni beladiri orisinil, seni beladiri murni yang sama persis dengan yang diajarkan oleh guru besar seni beladiri tersebut, Anda tahu bahwa orang itu benar...
-benar bohong.
Kalau Anda menginginkan seni beladiri yang mendekati 'aslinya', belajarlah dari orang yang pertama kali mengembangkan seni beladiri tersebut. Kalau hal itu mustahil untuk dilakukan, belajarlah dari murid-murid terdekatnya. Kalau masih nggak mungkin juga, belajarlah dari orang yang mempunyai predikat master/sensei dalam seni beladiri tersebut.
Tetapi ingat, hasil akhirnya akan tetap bergantung pada diri Anda sendiri, seperti kata pepatah:
"When drinking water, one should drink as close to the source as possible, as the water becomes murky and often polluted the further down stream one travels".Semakin dekat dengan sumbernya, air memang akan semakin jernih dan murni, akan tetapi meskipun kita mengambil air di bagian hilir--dimana air tersebut (biasanya) telah menjadi keruh--kita masih bisa menyaring dan mengolah air tersebut sehingga menjadi jernih dan murni kembali kendati tidak mungkin sejernih dan semurni aslinya.
0 komentar:
Post a Comment