Saat sedang asyik mengamati statistik dari blog milik saya ini, saya menemukan sebuah kata kunci pencarian yang menarik perhatian saya. Kata kunci tersebut berbunyi: "beda samsak dan makiwara".
Mengabaikan kesalahan penulisan kata "samsak" (seharusnya "sansak" yang berasal dari kata sandsack = kantong pasir), kata kunci ini cukup menarik karena--meskipun terlihat sepele--kata kunci ini bisa digunakan untuk "mementahkan" satu argumen dalam seni beladiri yang sebenarnya (menurut saya) salah kaprah.
"Seni beladiri adalah tentang tradisi, karena itu kita harus terus mempertahankan dan melakukan apa yang diajarkan oleh sensei atau senpai-senpai kita terdahulu", pernah mendengar argumen yang isinya kurang lebih seperti ini bukan?
Argumen ini memang tidak salah, bahkan menurut saya tidak ada yang lebih benar dari argumen tersebut, karena kalau kita ngomongin tradisi, seni beladiri adalah gudangnya tradisi.
Mengabaikan kesalahan penulisan kata "samsak" (seharusnya "sansak" yang berasal dari kata sandsack = kantong pasir), kata kunci ini cukup menarik karena--meskipun terlihat sepele--kata kunci ini bisa digunakan untuk "mementahkan" satu argumen dalam seni beladiri yang sebenarnya (menurut saya) salah kaprah.
"Seni beladiri adalah tentang tradisi, karena itu kita harus terus mempertahankan dan melakukan apa yang diajarkan oleh sensei atau senpai-senpai kita terdahulu", pernah mendengar argumen yang isinya kurang lebih seperti ini bukan?
Argumen ini memang tidak salah, bahkan menurut saya tidak ada yang lebih benar dari argumen tersebut, karena kalau kita ngomongin tradisi, seni beladiri adalah gudangnya tradisi.
Kalau gitu kenapa saya sebut salah kaprah? Yang salah bukanlah argumennya, melainkan pendefinisian dari kata "tradisi" itu sendiri.
Banyak sekali senpai ataupun senior saya yang mengartikan tradisi ini sebagai "menirukan plek ketiplek (sama persis) apa yang dulu diajarkan/ dicontohkan oleh sensei ataupun para senpai kita tanpa boleh banyak bertanya", inilah yang saya bilang salah kaprah. Tetapi saya tidak asal main menyalahkan saja, karena pendapat saya ini juga didukung oleh Matsuo Basho, seorang penyair kenamaan pada jaman Edo. Dalam salah satu haiku (puisi pendek)-nya, Basho mengatakan: "Jangan hanya sekedar menirukan apa yang dilakukan oleh orang-orang bijak, tetapi cari tahulah apa yang menjadi tujuan mereka".
"Sansak", sesuai dengan namanya, adalah sebuah kantong berisi pasir (atau bahan pengganti pasir lainnya) yang biasanya digantungkan untuk menjadi sasaran pukulan (dan atau tendangan) dalam latihan beladiri. Sedangkan "makiwara", yang berasal dari kata maki = gulung, gulungan, roll; dan wara = jerami, adalah jerami yang dililitkan pada sebuah papan pipih yang ditancapkan ke dalam tanah/ tembok yang dipakai sebagai sasaran untuk melatih pukulan. Selain berbeda dari bentuk dan bahan penyusunnya, perbedaan lainnya adalah yang satu modern sedangkan yang satunya kun... *ehem* tradisional.
Namun begitu, kalau dilihat dari fungsinya, tidak ada perbedaan antara sansak dan makiwara. Keduanya sama-sama berfungsi untuk melatih kekuatan dan akurasi pukulan meskipun bisa dibilang sansak relatif lebih aman daripada makiwara. Kantong pasir, yang biasanya terbuat dari kulit atau kain tebal ini, relatif lebih tidak gampang menyebabkan lecet pada kepalan tangan daripada jerami yang kasar dan landhep alias tajam.
Banyak sekali senpai ataupun senior saya yang mengartikan tradisi ini sebagai "menirukan plek ketiplek (sama persis) apa yang dulu diajarkan/ dicontohkan oleh sensei ataupun para senpai kita tanpa boleh banyak bertanya", inilah yang saya bilang salah kaprah. Tetapi saya tidak asal main menyalahkan saja, karena pendapat saya ini juga didukung oleh Matsuo Basho, seorang penyair kenamaan pada jaman Edo. Dalam salah satu haiku (puisi pendek)-nya, Basho mengatakan: "Jangan hanya sekedar menirukan apa yang dilakukan oleh orang-orang bijak, tetapi cari tahulah apa yang menjadi tujuan mereka".
"Do not seek to follow in the footsteps of the wise. Seek what they sought" ~ Matsuo BashoAkan tetapi, sebelum membahas lebih jauh, saya akan menjelaskan terlebih dulu perbedaan antara sansak dengan makiwara.
"Sansak", sesuai dengan namanya, adalah sebuah kantong berisi pasir (atau bahan pengganti pasir lainnya) yang biasanya digantungkan untuk menjadi sasaran pukulan (dan atau tendangan) dalam latihan beladiri. Sedangkan "makiwara", yang berasal dari kata maki = gulung, gulungan, roll; dan wara = jerami, adalah jerami yang dililitkan pada sebuah papan pipih yang ditancapkan ke dalam tanah/ tembok yang dipakai sebagai sasaran untuk melatih pukulan. Selain berbeda dari bentuk dan bahan penyusunnya, perbedaan lainnya adalah yang satu modern sedangkan yang satunya kun... *ehem* tradisional.
Namun begitu, kalau dilihat dari fungsinya, tidak ada perbedaan antara sansak dan makiwara. Keduanya sama-sama berfungsi untuk melatih kekuatan dan akurasi pukulan meskipun bisa dibilang sansak relatif lebih aman daripada makiwara. Kantong pasir, yang biasanya terbuat dari kulit atau kain tebal ini, relatif lebih tidak gampang menyebabkan lecet pada kepalan tangan daripada jerami yang kasar dan landhep alias tajam.
Gichin Funakoshi berlatih dengan makiwara (wikimedia commons) |
Seperti yang kita semua tahu, tenaga pukulan tidak hanya ditentukan oleh kekuatan dari otot-otot lengan saja tetapi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti kuda-kuda, kelenturan dan kekuatan otot pergelangan tangan, serta yang tidak boleh dilupakan adalah kebulatan tekad dari seseorang untuk memukul. Kesemuanya itu bisa dilatih dengan menggunakan makiwara maupun sansak.
Para sensei beladiri jaman dulu memang mencontohkan latihan memukul(i) makiwara untuk memperkuat pukulan kita. Tetapi bukan itu (memukul makiwara) yang diharapkan oleh mereka untuk kita tiru. Yang mereka inginkan dari kita adalah menirukan mereka untuk tekun berlatih teknik pukulan sehingga kita bisa memiliki pukulan yang cepat dan bertenaga yang tentu saja caranya bisa dan boleh berbeda.
Para sensei beladiri jaman dulu memang mencontohkan latihan memukul(i) makiwara untuk memperkuat pukulan kita. Tetapi bukan itu (memukul makiwara) yang diharapkan oleh mereka untuk kita tiru. Yang mereka inginkan dari kita adalah menirukan mereka untuk tekun berlatih teknik pukulan sehingga kita bisa memiliki pukulan yang cepat dan bertenaga yang tentu saja caranya bisa dan boleh berbeda.
Bayangkan saja seandainya sansak sudah ditemukan ribuan tahun yang lalu, apakah para sensei tersebut tidak akan beralih dari makiwara ke sansak? saya pikir tidak.
Kendati kita memang harus mencintai tradisi, para sensei jaman dulu tahu bahwa mencintai tradisi bukan berarti harus menirukan persis apa yang dilakukan oleh guru-guru mereka melainkan mencari tahu apa yang menjadi tujuan dari guru-guru mereka dalam melakukan sesuatu.
Jangan hanya asal meniru saja tanpa berpikir, berpikirlah untuk mencari tahu (dan meraih) apa yang menjadi tujuan dari para sensei ataupun senpai kita.
Jadi mana yang harus kita pilih? Fungsi atau tradisi? Jawabannya adalah: kedua-duanya.
Kendati kita memang harus mencintai tradisi, para sensei jaman dulu tahu bahwa mencintai tradisi bukan berarti harus menirukan persis apa yang dilakukan oleh guru-guru mereka melainkan mencari tahu apa yang menjadi tujuan dari guru-guru mereka dalam melakukan sesuatu.
Jangan hanya asal meniru saja tanpa berpikir, berpikirlah untuk mencari tahu (dan meraih) apa yang menjadi tujuan dari para sensei ataupun senpai kita.
Jadi mana yang harus kita pilih? Fungsi atau tradisi? Jawabannya adalah: kedua-duanya.
0 komentar:
Post a Comment