Baru-baru ini dunia dihebohkan [walah... bahasanya :D] dengan insiden pemasangan gambar bendera Indonesia yang terbalik di buku suvenir dan panduan SEA Games Malaysia 2017.
Walaupun menteri luar negeri Malaysia, Anifah Aman dan menteri belia dan sukan Malaysia, Khairy Jamaluddin sudah mengakui kesalahan serta menyampaikan permintaan maaf secara resmi kepada negara dan rakyat Indonesia atas kejadian yang tidak disengaja ini, kita sebagai warga negara Indonesia masih merasakan "sakitnya tuh disini."
Tamat.
Apa? Pendek betul postingannya?
Tunggu... tunggu...
1, 2, 3, daun luntas, buah pepaya
Paragraf diatas, cuma pengantar saja
Betul, betul, betul...
Tengok lanjutannya dibawah...
Kalau pemasangan gambar bendera yang terbalik saja sudah bisa bikin sakit hati seperti ini, coba bayangkan seandainya bendera negara kita dibakar. Dan kejadian ini (pembakaran bendera), walaupun tidak dialami oleh bendera merah putih, pernah dilakukan oleh sekelompok mahasiswa yang sedang berdemonstrasi.
Tanpa berpikir dua kali, kelompok mahasiswa yang sedang menyalurkanhasrat... eh aspirasinya tersebut dengan seenak udelnya membakar dan menginjak-injak sebuah bendera dari suatu negara. Dan parahnya, pembakaran bendera tersebut dilakukan di depan kedutaan negara yang bersangkutan.
Apakah para mahasiswa tersebut tidak berpikir bagaimana perasaan negara dan warga negara yang benderanya mereka bakar? Kalau "hanya sekedar" pemasangan gambar bendera terbalik saja sudah bisa bikin geram, bagaimana rasa hati ini seandainya bendera negara kita dibakar?
Tetapi itulah yang sering (atau selalu??) terjadi, kita selalu memikirkan perasaan kita sendiri tanpa mau peduli dengan perasaan orang lain. "Perasaan orang lain? egp, yang penting gue hepi", itulah yang selalu ada di pikiran kita. Kita ingin orang lain menghormati dan menghargai diri kita, tetapi kita sendiri tidak mau menghormati dan menghargai orang lain.
Sinting... ^-^v
Tunggu... tunggu... saya sedikit meralat pernyataan saya, kita tidak selalu memikirkan perasaan kita sendiri kok, setidaknya dalam latihan seni beladiri.
Seperti yang kita semua tahu, di semua aliran beladiri, pasti ada sikap/ kamae tertentu yang bertujuan untuk memberi salam/ hormat tidak saja kepada rekan latihan kita, tetapi juga kepada lawan kita sebelum bertanding. Sikap tersebut, dalam seni beladiri Jepang, disebut dengan rei/ gassho.
Bayangkan... seni beladiri, suatu bentuk seni yang katanya hanya cocok untuk orang-orang yang tidak berbudaya, mengajarkan kepada kita untuk tidak hanya menghormati rekan latihan, tetapi juga menghormati "musuh" kita.
Di dalam salah satu baris janji dan ikrar kenshi, di dalam seni beladiri Shorinji kempo, terdapat kata-kata yang berbunyi "Menghormati atasan, tidak meremehkan bawahan" yang mengajarkan kepada kenshi (praktisi Shorinji kempo)-nya untuk tidak hanya menghormati para sensei dan senpai yang secara hierarki memang berada di atasnya tetapi juga menghargai para kohai yang berada di bawahnya.
Budaya menghormati atasan sekaligus menghargai bawahan ini sangat berlawanan dengan "budaya" umum yang hanya menghormati orang dengan status sosial dan atau status ekonomi di atas kita dan meremehkan orang dengan status sosial dan ekonomi di bawah kita [tunjuk jari siapa yang mau mengucapkan permisi ketika berpapasan dengan seorang cleaning service yang sedang menyapu/ mengepel lantai].
Lebih jauh lagi, salah satu poin dalam Shorinji kempo no tokucho yaitu kumite shutai menyebutkan bahwa latihan berpasangan sangat diutamakan dalam Shorinji kempo. Dengan latihan berpasangan, dua orang kenshi dapat saling berbalasan melakukan berbagai teknik beladiri Shorinji kempo. Dua orang kenshi tersebut bergantian peran menjadi kosha (penyerang) dan shusha (bertahan).
Terutama dalam jitsuka waza (teknik lipatan, bantingan, dan kuncian), seorang kenshi tidak akan bisa menguasai dan memahami suatu teknik dengan baik tanpa merasakan sendiri teknik tersebut. Seorang kenshi tidak akan bisa mahir kalau dirinya hanya ingin "menyakiti" rekan latihannya, tetapi tidak mau "disakiti". Dengan kata lain, kalau Anda ingin melakukan sesuatu pada orang lain, Anda juga harus mau sesuatu tersebut dilakukan pada diri Anda. Atau kalau dibalik, kalau Anda tidak mau orang lain berbuat sesuatu kepada Anda, jangan melakukan hal itu kepada orang lain.
Kalau Anda tidak mau dilecehkan, jangan melecehkan orang lain. Kalau Anda ingin dihargai, hargailah orang lain. Perlakukan orang lain, seperti Anda ingin diperlakukan.
Eits... belum selesai...
Kembali ke kasus pemasangan gambar bendera terbalik di atas, walaupun sangat menyesalkan kejadian tersebut, bapak Presiden Joko Widodo berpesan supaya kejadian ini jangan dibesar-besarkan. Belajarlah untuk memaafkan, karena kita pun pasti juga ingin kesalahan kita dimaafkan.
Selesai...
Walaupun menteri luar negeri Malaysia, Anifah Aman dan menteri belia dan sukan Malaysia, Khairy Jamaluddin sudah mengakui kesalahan serta menyampaikan permintaan maaf secara resmi kepada negara dan rakyat Indonesia atas kejadian yang tidak disengaja ini, kita sebagai warga negara Indonesia masih merasakan "sakitnya tuh disini."
Tamat.
Apa? Pendek betul postingannya?
Tunggu... tunggu...
1, 2, 3, daun luntas, buah pepaya
Paragraf diatas, cuma pengantar saja
Betul, betul, betul...
Tengok lanjutannya dibawah...
Kalau pemasangan gambar bendera yang terbalik saja sudah bisa bikin sakit hati seperti ini, coba bayangkan seandainya bendera negara kita dibakar. Dan kejadian ini (pembakaran bendera), walaupun tidak dialami oleh bendera merah putih, pernah dilakukan oleh sekelompok mahasiswa yang sedang berdemonstrasi.
Tanpa berpikir dua kali, kelompok mahasiswa yang sedang menyalurkan
Apakah para mahasiswa tersebut tidak berpikir bagaimana perasaan negara dan warga negara yang benderanya mereka bakar? Kalau "hanya sekedar" pemasangan gambar bendera terbalik saja sudah bisa bikin geram, bagaimana rasa hati ini seandainya bendera negara kita dibakar?
Photo credit: 3dman_eu |
Sinting... ^-^v
Tunggu... tunggu... saya sedikit meralat pernyataan saya, kita tidak selalu memikirkan perasaan kita sendiri kok, setidaknya dalam latihan seni beladiri.
Seperti yang kita semua tahu, di semua aliran beladiri, pasti ada sikap/ kamae tertentu yang bertujuan untuk memberi salam/ hormat tidak saja kepada rekan latihan kita, tetapi juga kepada lawan kita sebelum bertanding. Sikap tersebut, dalam seni beladiri Jepang, disebut dengan rei/ gassho.
Bayangkan... seni beladiri, suatu bentuk seni yang katanya hanya cocok untuk orang-orang yang tidak berbudaya, mengajarkan kepada kita untuk tidak hanya menghormati rekan latihan, tetapi juga menghormati "musuh" kita.
Di dalam salah satu baris janji dan ikrar kenshi, di dalam seni beladiri Shorinji kempo, terdapat kata-kata yang berbunyi "Menghormati atasan, tidak meremehkan bawahan" yang mengajarkan kepada kenshi (praktisi Shorinji kempo)-nya untuk tidak hanya menghormati para sensei dan senpai yang secara hierarki memang berada di atasnya tetapi juga menghargai para kohai yang berada di bawahnya.
Budaya menghormati atasan sekaligus menghargai bawahan ini sangat berlawanan dengan "budaya" umum yang hanya menghormati orang dengan status sosial dan atau status ekonomi di atas kita dan meremehkan orang dengan status sosial dan ekonomi di bawah kita [tunjuk jari siapa yang mau mengucapkan permisi ketika berpapasan dengan seorang cleaning service yang sedang menyapu/ mengepel lantai].
Lebih jauh lagi, salah satu poin dalam Shorinji kempo no tokucho yaitu kumite shutai menyebutkan bahwa latihan berpasangan sangat diutamakan dalam Shorinji kempo. Dengan latihan berpasangan, dua orang kenshi dapat saling berbalasan melakukan berbagai teknik beladiri Shorinji kempo. Dua orang kenshi tersebut bergantian peran menjadi kosha (penyerang) dan shusha (bertahan).
Terutama dalam jitsuka waza (teknik lipatan, bantingan, dan kuncian), seorang kenshi tidak akan bisa menguasai dan memahami suatu teknik dengan baik tanpa merasakan sendiri teknik tersebut. Seorang kenshi tidak akan bisa mahir kalau dirinya hanya ingin "menyakiti" rekan latihannya, tetapi tidak mau "disakiti". Dengan kata lain, kalau Anda ingin melakukan sesuatu pada orang lain, Anda juga harus mau sesuatu tersebut dilakukan pada diri Anda. Atau kalau dibalik, kalau Anda tidak mau orang lain berbuat sesuatu kepada Anda, jangan melakukan hal itu kepada orang lain.
Kalau Anda tidak mau dilecehkan, jangan melecehkan orang lain. Kalau Anda ingin dihargai, hargailah orang lain. Perlakukan orang lain, seperti Anda ingin diperlakukan.
Eits... belum selesai...
Kembali ke kasus pemasangan gambar bendera terbalik di atas, walaupun sangat menyesalkan kejadian tersebut, bapak Presiden Joko Widodo berpesan supaya kejadian ini jangan dibesar-besarkan. Belajarlah untuk memaafkan, karena kita pun pasti juga ingin kesalahan kita dimaafkan.
Selesai...
0 komentar:
Post a Comment