Pariwara

Followers

Kumite Shutai: Budaya Saling Membantu dalam Seni Beladiri

Posted by Yonatan Adi on 1:20 PM

Penduduk Indonesia adalah orang-orang yang paling ramah sedunia.

Pernah mendengar ujaran seperti ini bukan?

Tentunya kita bangga dong mendapat predikat seperti itu.

Atau tidak.

Tahukah Anda darimana ujaran ini berasal? Predikat tersebut ternyata pertama kali disematkan oleh turis-turis asing yang berkunjung ke Indonesia. Para turis asing tersebut menganggap kalau orang Indonesia itu ramah karena kemanapun mereka berkunjung mereka seolah-olah selalu menjadi pusat perhatian. Disapa sir lah, good morning lah, where do you come from lah (tapi begitu diajak ngobrol bingung karena sebenarnya bahasa Inggrisnya pas-pasan hehe).

Seandainya ada bahasa universal yang dimengerti oleh semua orang.

... *ehem*...

Kenapa cuma gitu saja sudah dianggap ramah? Karena di negeri asalnya, para turis tersebut tidak pernah disapa oleh orang yang tidak mereka kenal.

Menyapa atau disapa bukanlah kebiasaan mereka. Bukan berarti mereka individualis, sama sekali bukan, mereka hanya tidak ingin turut campur ataupun terlibat terlalu jauh dalam urusan orang lain yang tidak mereka kenal.

Bandingkan dengan orang Indonesia.

Sedikit cerita. Pernah suatu ketika motor saya mogok. Waktu itu sudah malam sekitar jam 21.00. Saat sedang asyik berusaha menyalakan mesin motor saya, bapak tukang parkir ditempat tersebut datang menghampiri.

"Mogok mas?", tanya beliau.

"Iya pak, gak tahu kenapa padahal tadi gak apa-apa", sahut saya (padahal saya sudah menduga kalau sumber masalahnya ada di busi).

Capek karena harus mancal pedal starter berkali-kali (dan mesin motor tidak juga menyala) saya memutuskan untuk beristirahat sebentar.

"Saya bantu ta mas?", tanya si bapak tukang parkir.

"Gak usah pak, terimakasih", jawab saya tanpa basa-basi.

[Dan maksud saya benar-benar tanpa basa-basi. Anda yang orang jawa tentunya tahu kalau basa-basi adalah salah satu "budaya" orang jawa, sebenarnya lapar tapi karena "sungkan" menolak ketika ditawari untuk makan.]

Saya memang tidak ingin dibantu, karena menurut saya, mogoknya motor saya adalah kesalahan dan tanggung jawab saya sendiri sehingga saya tidak mau merepotkan orang lain.

Tetapi karena menganggap ucapan saya hanyalah basa-basi, si bapak tetap saja nekad membantu. Setelah mancal berkali-kali, si bapak akhirnya menyerah dan dengan sedikit merengut berkata: "Businya ini mas, bawa ke bengkel saja. Capek saya".

"Siapa minta dibantuin pak? Lagian mana ada bengkel buka jam segini", batin saya dalam hati.

Untunglah akhirnya (setelah mencoba berkali-kali dan menahan emosi karena berkali-kali disindir oleh si bapak) motor saya bisa menyala dan saya bisa pulang meninggalkan si bapak yang dongkol.
Gambar dari maxpixel.freegreatpicture.com
Itulah gambaran orang Indonesia. Selalu ingin turut camp... err membantu walaupun tidak diminta (baca: diinginkan).

Apa salahnya? Bukannya itu wajar?

Wajar sih wajar, tapi tidak semua orang itu mau dibantu lho.

Jadi membantu itu salah?

Tidak salah, kalau kita memang dimintai bantuan.

Budaya membantu ini ternyata juga mempengaruhi sistem latihan di beberapa aliran seni beladiri asia seperti jujutsu (bukan jiujitsu), judo, aikido, dan shorinji kempo.

Aliran-aliran seni beladiri tersebut sangat menekankan pada latihan berpasangan atau bahasa jepunnya kumite shutai. Secara, tidak mungkin 'kan kita berlatih nage-waza (teknik bantingan), jitsuka-waza (teknik lipatan dan kuncian), serta ne-waza (groundfight) tanpa ada "lawannya".

Bedanya adalah kalau si bapak tukang parkir membantu saya tanpa "ijin", dalam berbagai aliran seni beladiri tersebut diatas, dua orang yang berpasangan akan saling meminta ijin terlebih dulu kepada pasangannya. Di Jepang, hal ini dilakukan dengan cara melakukan rei/ gassho sambil mengucapkan "onegai shimasu" (mohon bantuannya).

Itulah sebabnya aliran-aliran seni beladiri [terutama yang banyak unsur "ju" (lembut)-nya] tersebut lebih banyak berkembang di asia.

Sekarang bandingkan dengan "seni beladiri" yang banyak berkembang di barat seperti boxing (tinju) dan kickboxing. Mereka lebih menekankan pada latihan individu seperti latihan penguatan tubuh, memperkuat pukulan, dan juga memperkuat tendangan.

Bukankah ada sparing juga?

Sparing tidak saya hitung sebagai latihan berpasangan. Kenapa? Karena sparing bertujuan untuk melihat (baca: menguji) kemampuan dan kemajuan seseorang dalam seni beladiri, beda dengan kumite shutai yang tujuannya bukan untuk menguji kemampuan melainkan untuk bersama-sama berkembang dan mengalami kemajuan.

Mungkin ini sedikit menyimpang.

Tahukah Anda apa yang ibu-ibu di Jepang lakukan saat putra/ putrinya jatuh terantuk batu? Mereka hanya berdiri, menjulurkan tangannya sambil berkata "daijoubu?" menunggu si anak berdiri sendiri. Tapi apa yang dilakukan ibu-ibu di Indonesia? "Batunya emang nakal, berani-beraninya bikin anakku jatuh", sambil buru-buru membangunkan anaknya.

Sekian


Nama Anda
New Johny WussUpdated: 1:20 PM

0 komentar:

Post a Comment

Copyscape

Protected by Copyscape

Blog Archive

Powered by Blogger.

Paling Dilihat

CB