Anda pastinya pernah membaca novel "Wiro Sableng" bukan?
Belum pernah?
Hhmmm... gimana dengan sinetron adaptasinya yang sempat diputar setiap hari Minggu siang di sebuah stasiun televisi swasta di akhir tahun '90-an? Pastinya pernah nonton bukan?
Belum pernah juga?
Anda yang terlalu muda atau saya yang terlalu tua sih ;D?
Anyway, sinetron adaptasi tersebut menurut saya sangat jelek.
Tunggu dulu... sebelum Anda semua mengeroyok saya rame-rame, beri saya waktu untuk menjelaskan.
Bisa dibilang saya adalah penggemar berat novel Wiro Sableng, tidak terhitung berapa puluh buku karangan Bastian Tito tersebut yang sudah saya lahap habis. Lalu kenapa saya (sedikit) tidak suka dengan sinetron adaptasinya?
Jawabannya adalah "imajinasi".
Saat membaca novelnya, saya selalu membayangkan tokoh Wiro sebagai seorang pemuda dengan perawakan yang sangat gagah dan ganteng (seperti saya ;p). Demikian pula tokoh Anggini, murid Dewa Tuak, yang digambarkan sebagai seorang gadis yang sangat cantik. Begitu juga dengan berbagai adegan pertarungan yang digambarkan berlangsung sengit dan menegangkan,belum termasuk adegan percintaan yang digambarkan (dalam novelnya) dengan cukup detil dan "menggiurkan" ;p.
Tetapi semua berubah setelah saya menonton sinetron adaptasinya. Wiro tidak segagah dan setampan bayangan saya, Anggini tidak secantik angan-angan saya, adegan pertarungannya juga kurang seru dan terlalu banyak "tepung" (yang pernah nonton pasti tahu maksud saya).
Dengan alasan yang sama, 9 dari 10 film adaptasi novel--film-film seperti Jurassic Park, The Lord of the Rings, dan Harry Potter--terlihat "jelek" kalau dibandingkan dengan novelnya.
Kenapa?
Karena film-film tersebut tidak sesuai dengan angan-angan yang ada dalam imajinasi kita.
Seseorang pernah berkata (saya lupa siapa):
"Michael Crichton, J. R. R Tolkien, J. K Rowling, dan para novelis ternama lainnya tidak pernah menggunakan kata sifat yang menerangkan suatu hal secara berlebihan dalam tulisannya. Kalau memang terpaksa menggunakan kata sifat, mereka akan memilih dengan seksama kata-kata apa yang akan mereka gunakan. Mereka tidak pernah mengumbar kata-kata.
Apa yang membuat sebuah cerita menjadi bagus adalah kalau si penulis cerita 'memaksa' pembaca untuk menggunakan imajinasinya. Kalau penulis cerita menjelaskan semua hal secara gamblang dalam cerita karangannya, tidak ada lagi yang bisa dibayangkan oleh pembacanya. Dan cerita tersebut akan menjadi sangat membosankan."
Semakin sedikit kata-kata yang digunakan, imajinasi para pembacanya akan semakin terangsang.
Sedikit = bagus
Dan hal ini tidak hanya berlaku dalam dunia per-novel-an saja, tapi juga dalam dunia memasak, blogging, desain, ataupun melukis.
Bahkan dalam seni beladiri.
Hal ini jugalah yang dijelaskan oleh hukum Hick.
Menurut sensei Wick. I. Pedia, hukum Hick atau hukum Hick - Hyman (dinamakan sesuai dengan nama penemunya, William Edmund Hick dan Ray Hyman) menjelaskan tentang waktu yang dibutuhkan seseorang untuk mengambil keputusan (atau merespon stimulus) berdasarkan berbagai kemungkinan pilihan yang dia miliki.
Kalau dinyatakan dalam bentuk rumus:
T = b·log₂(n + 1)
Hukum ini sangat penting dalamberkelahi seni beladiri, dimana waktu untuk merespon gerakan lawan akan sangat menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, siapa yang bertahan hidup dan siapa yang menjadi... apapun lawan kata dari bertahan hidup (sansak hidup??).
Secara teori, waktu respon tercepat yang bisa dicapai oleh seseorang adalah kalau hanya ada satu stimulus dan satu respon, atau dalam beladiri: satu serangan dan satu pilihan teknik bertahan (bisa menangkis, mengelak, atau yang lainnya).
Sangat simpel.
Kalau kita menambah jumlah pilihannya, respon kita akan melambat [dan sebaliknya, kalau kita menambah jumlah stimulusnya, respon kita juga akan melambat].
Kalau digambarkan sebagai perahu:
Belum pernah?
Hhmmm... gimana dengan sinetron adaptasinya yang sempat diputar setiap hari Minggu siang di sebuah stasiun televisi swasta di akhir tahun '90-an? Pastinya pernah nonton bukan?
Belum pernah juga?
Anda yang terlalu muda atau saya yang terlalu tua sih ;D?
Anyway, sinetron adaptasi tersebut menurut saya sangat jelek.
Tunggu dulu... sebelum Anda semua mengeroyok saya rame-rame, beri saya waktu untuk menjelaskan.
Bisa dibilang saya adalah penggemar berat novel Wiro Sableng, tidak terhitung berapa puluh buku karangan Bastian Tito tersebut yang sudah saya lahap habis. Lalu kenapa saya (sedikit) tidak suka dengan sinetron adaptasinya?
Jawabannya adalah "imajinasi".
Saat membaca novelnya, saya selalu membayangkan tokoh Wiro sebagai seorang pemuda dengan perawakan yang sangat gagah dan ganteng (seperti saya ;p). Demikian pula tokoh Anggini, murid Dewa Tuak, yang digambarkan sebagai seorang gadis yang sangat cantik. Begitu juga dengan berbagai adegan pertarungan yang digambarkan berlangsung sengit dan menegangkan,
Tetapi semua berubah setelah saya menonton sinetron adaptasinya. Wiro tidak segagah dan setampan bayangan saya, Anggini tidak secantik angan-angan saya, adegan pertarungannya juga kurang seru dan terlalu banyak "tepung" (yang pernah nonton pasti tahu maksud saya).
Dengan alasan yang sama, 9 dari 10 film adaptasi novel--film-film seperti Jurassic Park, The Lord of the Rings, dan Harry Potter--terlihat "jelek" kalau dibandingkan dengan novelnya.
Kenapa?
Karena film-film tersebut tidak sesuai dengan angan-angan yang ada dalam imajinasi kita.
Seseorang pernah berkata (saya lupa siapa):
"Michael Crichton, J. R. R Tolkien, J. K Rowling, dan para novelis ternama lainnya tidak pernah menggunakan kata sifat yang menerangkan suatu hal secara berlebihan dalam tulisannya. Kalau memang terpaksa menggunakan kata sifat, mereka akan memilih dengan seksama kata-kata apa yang akan mereka gunakan. Mereka tidak pernah mengumbar kata-kata.
Apa yang membuat sebuah cerita menjadi bagus adalah kalau si penulis cerita 'memaksa' pembaca untuk menggunakan imajinasinya. Kalau penulis cerita menjelaskan semua hal secara gamblang dalam cerita karangannya, tidak ada lagi yang bisa dibayangkan oleh pembacanya. Dan cerita tersebut akan menjadi sangat membosankan."
Semakin sedikit kata-kata yang digunakan, imajinasi para pembacanya akan semakin terangsang.
Sedikit = bagus
Dan hal ini tidak hanya berlaku dalam dunia per-novel-an saja, tapi juga dalam dunia memasak, blogging, desain, ataupun melukis.
Bahkan dalam seni beladiri.
Hal ini jugalah yang dijelaskan oleh hukum Hick.
Menurut sensei Wick. I. Pedia, hukum Hick atau hukum Hick - Hyman (dinamakan sesuai dengan nama penemunya, William Edmund Hick dan Ray Hyman) menjelaskan tentang waktu yang dibutuhkan seseorang untuk mengambil keputusan (atau merespon stimulus) berdasarkan berbagai kemungkinan pilihan yang dia miliki.
Kalau dinyatakan dalam bentuk rumus:
T = b·log₂(n + 1)
Hukum ini sangat penting dalam
Secara teori, waktu respon tercepat yang bisa dicapai oleh seseorang adalah kalau hanya ada satu stimulus dan satu respon, atau dalam beladiri: satu serangan dan satu pilihan teknik bertahan (bisa menangkis, mengelak, atau yang lainnya).
Sangat simpel.
Kalau kita menambah jumlah pilihannya, respon kita akan melambat [dan sebaliknya, kalau kita menambah jumlah stimulusnya, respon kita juga akan melambat].
Kalau digambarkan sebagai perahu:
Photo credit: Free-Photos [dengan perubahan] |
[maaf kalau gambarnya jelek]
Kita ambil contoh seperti ini: kalau kita diserang dengan pukulan lurus (jodan choku zuki misalnya), dan kita tahu dengan pasti satu cara untuk bertahan dari serangan tersebut (dengan uchi uke misalnya), maka respon kita pasti tidak akan kalah cepat dengan respon keponakan saya saat mendengar suara uang koin jatuh ;D.
Tetapi... diluar sana, penjahat tidak akan menyerang kita dengan serangan yang sama, menggunakan lengan yang sama, atau dengan tenaga dan sasaran yang sama. Tidak. Mereka akan menyerang dengan berbagai variasi serangan. Dan bagaimana kemungkinan kita untuk selamat dari serangan-serangan tersebut? Mari kita lihat kembali ilustrasi perahu di atas.
Sekarang tambahkan beban ke dalam perahu tersebut...
Photo credit: mkayak85 (dengan perubahan) |
[oke, gambarnya jelek sekali, maklum gaptek :D]
Menambahkan stimulus (berbagai macam jenis serangan) dan atau respon (berbagai macam teknik bertahan) akan membuat waktu kita untuk merespon menjadi "tenggelam".
Menurut hukum Hick: untuk setiap teknik bertahan ekstra (respon) yang kita pelajari untuk satu jenis serangan (stimulus), kita telah menurunkan kemungkinan untuk selamat dalam suatu perkelahian. Atau dengan kata lain, semakin sedikit variasi teknik bertahan yang kita latih, semakin efektif (dan mungkin semakin membosankan ;D) pula latihan kita.
Lalu apa kesimpulannya?
Semakin banyak teknik yang kita kuasai... semakin kecil kemungkinan bagi kita untuk menggunakan teknik-teknik tersebut dalam perkelahian.
Tetapi bukan berarti saya melarang Anda untuk berlatih berbagai macam teknik beladiri lho ya. Anda boleh-boleh saja berlatih ratusan teknik beladiri, namun pilih salah satu yang "cocok" untuk Anda untuk kemudian Anda latih secara ekstensif.
Untuk serangan gyaku jodan choku zuki misalnya, Anda boleh (dan harus) berlatih bermacam-macam teknik untuk mengatasinya (ryusui geri, uchi uke zuki, soto uke zuki, uchi uke geri, soto uke geri, uchi age zuki, uchi age geri) tapi fokuskan (dengan tidak melupakan teknik-teknik yang lain tentu saja) latihan Anda pada satu teknik yang benar-benar sesuai dengan postur tubuh dan gaya Anda. Dan jangan hanya mempelajari "caranya", tapi yang lebih penting adalah pelajari juga prinsip dari teknik-teknik tersebut.
Itulah seharusnya bagaimana kita berlatih seni beladiri. Daripada banyak tapi hanya "permukaannya" saja, lebih baik sedikit tapi benar-benar menguasai aplikasi maupun prinsip-prinsipnya.
0 komentar:
Post a Comment