Teman-teman tentunya pernah mendengar dongeng "Kelinci dan Kura-Kura" bukan?
Di dalam dongeng tersebut, diceritakan bahwa kelinci yang sombong karena mampu berlari dengan sangat kencang, lebih kencang daripada semua binatang lain di hutan, ternyata mengalami kekalahan saat berlomba lari dengan kura-kura yang terkenal lamban.
Kekalahan si kelinci bukan disebabkan karena si kura-kura mengalami mutasi DNA akibat terpapar dengan nitrogen oksida sehingga larinya menjadi super kencang, tetapi karena si kelinci merasa "aman" sebab berpikir dirinya sudah pasti menang.
Saya tidak akan panjang lebar menceritakan kisah ini--Anda bisa bertanya kepada mbah gugel yang jauh lebih tahu daripada saya. Yang akan sedikit saya bahas dalam postingan ini adalah: "Benarkah 'rasa aman' justru 'berbahaya' bagi diri kita?".
Di dalam dongeng tersebut, diceritakan bahwa kelinci yang sombong karena mampu berlari dengan sangat kencang, lebih kencang daripada semua binatang lain di hutan, ternyata mengalami kekalahan saat berlomba lari dengan kura-kura yang terkenal lamban.
Kekalahan si kelinci bukan disebabkan karena si kura-kura mengalami mutasi DNA akibat terpapar dengan nitrogen oksida sehingga larinya menjadi super kencang, tetapi karena si kelinci merasa "aman" sebab berpikir dirinya sudah pasti menang.
Saya tidak akan panjang lebar menceritakan kisah ini--Anda bisa bertanya kepada mbah gugel yang jauh lebih tahu daripada saya. Yang akan sedikit saya bahas dalam postingan ini adalah: "Benarkah 'rasa aman' justru 'berbahaya' bagi diri kita?".
Image credit: Jean Grandville/wikimedia.org |
Dalam sebuah karya tulis yang berjudul "Automobile Safety Regulation and the Incentive to Drive Recklessly: Evidence from NASCAR, Sobel and Nesbit", Russell S. Sobel, seorang profesor bidang ekonomi dan bisnis dari West Virginia University menyatakan bahwa mobil yang dilengkapi dengan berbagai alat pengaman didalamnya justru berpotensi meningkatkan angka kecelakaan.
Seseorang yang mengendarai mobil canggih dan dilengkapi dengan sistem keamanan mutakhir akan lebih berani mengambil resiko (ngebut, ugal-ugalan dijalan, dsb) sehingga beresiko lebih besar mengalami kecelakaan.
Kalau Anda tidak percaya, sekarang coba Anda bayangkan yang sebaliknya: di dashboard dan setir mobil Anda tidak terpasang alat pengaman (seperti air bag) namun justru terpasang pisau, jarum, dan berbagai benda tajam lain yang mengarah ke tubuh Anda; sudah pasti Anda tidak akan mengebut serta bakal mengendarai mobil Anda dengan sangat berhati-hati, iya kan?
Dan hal tersebut tidak hanya berlaku dalam berkendara saja, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari.
Hubungan antara rasa aman-resiko ini dikenal sebagai efek Peltzman.
Anda: "Lalu apa hubungan antara efek Peltzman ini dengan seni beladiri?"
Anda semua yang sering membaca blog saya ini tentunya sedang atau paling tidak pernah belajar beladiri di dojo/ dojang/ gym/ padepokan, bukan? Yang ingin saya sampaikan adalah: kalau Anda berlatih terlalu sering (dan dengan cara yang salah), Anda mungkin akan merasa terlalu percaya diri dengan kemampuan beladiri Anda yang justru akan membuat Anda lebih banyak terekspos dengan resiko bahaya.
[Karena itu jangan terlalu sering berlatih beladiri, kalau Anda ingin libur sejenak dari latihan tapi tidak punya alasan untuk itu, Anda bisa mencoba beberapa alasan berikut ini ;D]
Dan seperti halnya si kelinci yang tertidur di bawah pohon atau seseorang yang mengemudikan mobil canggihnya dengan ugal-ugalan, hal itu justru akan membahayakan diri Anda sendiri.
Contoh kongkretnya seperti ini: Anda lebih memilih berjalan melewati gang yang sepi dan gelap di malam hari dari pada lewat jalan besar yang lebih ramai hanya karena ingin menghemat waktu 5 menit. Diserang penjahat? Emang gue pikirin, saya kan sudah berlatih menghajar "penjahat" tiga kali seminggu di dojo, jadi saya pasti bisa menjaga diri saya, benar kan?
... salah
"Penjahat" di dojo adalah teman Anda sendiri. Mereka tidak benar-benar berniat merampok ataupun menyakiti Anda, beda dengan penjahat beneran di luar sana.
Terlalu banyak berlatih dengan mindset seperti itu akan merusak cara berpikir Anda, menimbulkan rasa aman palsu, menghalangi akal sehat, dan membuat Anda terlalu yakin serta kelewat percaya diri dengan kemampuan Anda (ingat kata bang Rhoma, segala sesuatu yang 'terlalu' itu tidak baik).
Lalu gimana cara berlatih yang benar?
Berlatihlah serealistis mungkin. Bukan... bukan berlatih dengan menggunakan pentungan, brass knuckle, pisau yang tajam, gatling gun, peluncur roket, atau semacamnya. 'Berlatihlah' untuk menghindari tempat-tempat yang gelap dan sepi, berlatihlah untuk ber-kiai... eh berteriak minta tolong, berlatihlah untuk kabur mencari pertolongan secepat mungkin, berlatihlah untuk menghindari konflik dengan bibir lamis Anda ;p, berlatihlah bukan untuk menemukan dan memamerkan kehebatan Anda tetapi berlatihlah karena menyadari kelemahan Anda. Ingatlah selalu bahwa tujuan Anda berlatih beladiri adalah untuk selamat, dan bukan untuk mengalahkan lawan Anda.
Kita juga harus menyadari bahwa diluar sana tidak akan ada waza (teknik beladiri) yang sempurna, se-ahli dan se-terampil apapun kita mengaplikasikan waza di tempat latihan semuanya akan menghilang saat seseorang bertubuh raksasa dengan mata merah melotot, gigi runcing dan tajam, yang air liurnya menetes dari sela-sela bibir yang berlumuran darah, dan yang memegang golok sebesar papan tulis (baiklah, memang sedikit lebay) mengejar dan menyerang Anda dengan membabi buta.
Sebagai penutup: kalau Anda melatih/ berlatih mempertahankan diri dari serangan pisau, pemukul baseball, pentungan, pedang, pistol,wajan teflon, ataupun omelan istri, jangan sampai Anda/ murid-murid Anda terlalu yakin bahwa teknik yang Anda/ mereka lakukan pasti akan berhasil 100% karena hal itu justru bisa berakibat fatal.
Ingatlah selalu dengan efek Peltzman.
"Penjahat" di dojo adalah teman Anda sendiri. Mereka tidak benar-benar berniat merampok ataupun menyakiti Anda, beda dengan penjahat beneran di luar sana.
Terlalu banyak berlatih dengan mindset seperti itu akan merusak cara berpikir Anda, menimbulkan rasa aman palsu, menghalangi akal sehat, dan membuat Anda terlalu yakin serta kelewat percaya diri dengan kemampuan Anda (ingat kata bang Rhoma, segala sesuatu yang 'terlalu' itu tidak baik).
Lalu gimana cara berlatih yang benar?
Berlatihlah serealistis mungkin. Bukan... bukan berlatih dengan menggunakan pentungan, brass knuckle, pisau yang tajam, gatling gun, peluncur roket, atau semacamnya. 'Berlatihlah' untuk menghindari tempat-tempat yang gelap dan sepi, berlatihlah untuk ber-kiai... eh berteriak minta tolong, berlatihlah untuk kabur mencari pertolongan secepat mungkin, berlatihlah untuk menghindari konflik dengan bibir lamis Anda ;p, berlatihlah bukan untuk menemukan dan memamerkan kehebatan Anda tetapi berlatihlah karena menyadari kelemahan Anda. Ingatlah selalu bahwa tujuan Anda berlatih beladiri adalah untuk selamat, dan bukan untuk mengalahkan lawan Anda.
Kita juga harus menyadari bahwa diluar sana tidak akan ada waza (teknik beladiri) yang sempurna, se-ahli dan se-terampil apapun kita mengaplikasikan waza di tempat latihan semuanya akan menghilang saat seseorang bertubuh raksasa dengan mata merah melotot, gigi runcing dan tajam, yang air liurnya menetes dari sela-sela bibir yang berlumuran darah, dan yang memegang golok sebesar papan tulis (baiklah, memang sedikit lebay) mengejar dan menyerang Anda dengan membabi buta.
Sebagai penutup: kalau Anda melatih/ berlatih mempertahankan diri dari serangan pisau, pemukul baseball, pentungan, pedang, pistol,
Ingatlah selalu dengan efek Peltzman.
0 komentar:
Post a Comment