Pariwara

Followers

Polisi Tidur dan Kedisiplinan dalam Seni Beladiri

Posted by Yonatan Adi on 2:57 PM

Saat sedang berkendara, pernahkah Anda melintasi polisi tidur?

Polisi-tidur lho ya, bukan polisi yang sedang tidur ;D.

Saya berani bertaruh jawabannya adalah: pernah (atau bahkan sering).

Tetapi apa sih sebenarnya polisi tidur itu? Kapan istilah ini mulai muncul, dan apa gunanya?

Menurut senpai Kabe Be'i, polisi tidur diartikan sebagai bagian permukaan jalan yang ditinggikan secara melintang, untuk menghambat laju kendaraan.

Yoleen Mauren dalam jurnalnya yang berjudul "Pembuatan Speed Trap sebagai Alat Pengendali Pengguna Jalan", menyebutkan bahwa polisi tidur muncul pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1906.

Lebih rinci lagi, menurut Anyaegbunam dalam jurnalnya yang berjudul "Electric Power Production from a Renewable Energy Source - Speed Breaker Generators", skema untuk mengurangi laju kendaraan bermotor sebenarnya telah menjadi bahan diskusi dari berbagai pemerintah kota di Amerika, tetapi kota pertama yang mengimplementasikannya adalah kota Chatham di New Jersey. Tentu saja nama dari skema itu bukanlah "sleeping policeman" melainkan "speed bumps" :D.

Dan seperti yang telah dijelaskan oleh senpai Kabe Be'i diatas, fungsi dari polisi tidur adalah untuk menghambat laju dari kendaraan bermotor terutama di ruas-ruas jalan di area perkampungan yang padat, banyak anak kecil, atau sedang ada proyek perbaikan jalan. Tujuannya adalah supaya para pengguna jalan memperlambat laju kendaraannya untuk menurunkan resiko terjadinya kecelakaan.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah kenapa sih polisi tidur sampai perlu dibangun? Bukankah memasang rambu lalu lintas yang bertuliskan "kecepatan maksimal 25 km/jam" saja sudah cukup?

Photo credit: multifacetedgirl
Jawabannya adalah: karena tidak semua pengguna jalan mau mematuhi rambu-rambu lalu lintas.

Kita semua tahu kalau sebenarnya polisi tidur itu sangat mengganggu kenyamanan berkendara. Bayangkan saja kita harus (benar-benar) memperlambat laju kendaraan kita sebelum melintasinya, kalau tidak goncangan yang kita rasakan akan cukup besar, belum lagi kalau kita harus mengangkut benda-benda yang tidak tahan goncangan, atau membawa penumpang bayi yang sedang tidur misalnya.

Itu baru satu polisi tidur, belum kalau banyak (saya pernah melintasi suatu ruas jalan sepanjang sekitar 400 meter dengan 6 - 8 polisi tidur, atau satu polisi tidur setiap 50 meternya, sangat tidak nyaman).

Kalau boleh berandai-andai, kalau saja para pengguna suatu ruas jalan mau mematuhi peraturan lalu lintas dan memacu kendaraannya paling banter 20 km/jam, sangat besar kemungkinan di ruas jalan tersebut tidak akan dibangun polisi tidur. Polisi tidur dibangun untuk "memaksa" para pengguna jalan untuk mau mematuhi peraturan batas kecepatan tersebut.

Ironisnya, saya masih sering melihat pengguna jalan yang tetap memacu kendaraannya dengan kecepatan yang cukup tinggi meskipun tahu kalau beberapa meter di depan sana dirinya akan melintasi polisi tidur.

*hela napas...*



Aturan...

... sesuai dengan namanya, aturan bertujuan untuk mengatur sehingga segala sesuatunya berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku.

Seperti yang kita semua tahu, di dalam seni beladiri juga terdapat banyak sekali "aturan", beberapa contoh aturan tersebut antara lain:
  1. Setiap kali masuk ke atau keluar dari dojo (tempat latihan) harus rei (atau gassho)
  2. Hormat kepada atasan sekaligus tidak menganggap remeh bawahan kita
  3. Tidak boleh memakai alas kaki atau penutup kepala (topi) di dalam dojo, menata alas kaki dengan rapi di luar pintu masuk dojo
  4. Membersihkan dojo sebelum dan sesudah berlatih
  5. Datang tepat waktu (tidak terlambat)
  6. Tidak memakai dogi (seragam latihan) saat berangkat ke atau pulang dari tempat latihan.
  7. ... dan masih banyak lagi
Aturan-aturan tersebut seharusnya dipatuhi tanpa syarat oleh semua orang (tidak hanya oleh seorang murid tetapi juga instruktur, bahkan seorang sensei sekalipun). Akan tetapi, karena banyak sekali terjadi pelanggaran, aturan tersebut harus didampingi oleh suatu bentuk hukuman.

Hukuman adalah seperti polisi tidur yang bertujuan untuk memaksa supaya aturan tersebut dijalankan. Hukuman tersebut bisa berupa bentakan atau makian dari senior, push-up (yang paling sering), sampai dengan lari (atau jalan jongkok) mengelilingi tempat latihan.

Sedihnya, pelanggaran aturan tersebut masih banyak terjadi di dojo-dojo di negeri seribu pulau Indonesia. Di negeri matahari terbit sana, pelanggaran-pelanggaran tersebut sangatlah jarang (atau bahkan mungkin tidak pernah) terjadi.

Memang sih, sejauh pengamatan saya, kita (orang-orang Indonesia pada umumnya) bisa dibilang hobi dalam melanggar aturan--sampai-sampai ada jargon yang berbunyi "aturan dibuat untuk dilanggar"--dan hanya mau mematuhi aturan kalau ada pihak berwenang yang akan memberi hukuman kalau aturan tersebut kita langgar (hayo ngaku siapa yang cuma mau memakai helm saat sedang ada polisi saja??).

Photo credit: JessicaFender
Aturan-aturan yang ada di dalam seni beladiri, selain untuk menanamkan jiwa bushido, juga bertujuan untuk melatih kedisiplinan. Seperti yang pernah saya tulis, disiplin berarti melakukan suatu hal (yang tidak bertentangan dengan norma yang berlaku) yang sebenarnya tidak ingin kita lakukan.

Mungkin pada awalnya karena keterpaksaan, tetapi lama-kelamaan hal itu akan menjadi suatu kebiasaan. Dan pada akhirnya kebiasaan tersebut akan terbawa ke dalam keseharian kita, dan tanpa kita sadari kita pun menjadi orang yang disiplin dan selalu mematuhi aturan. Kecuali Anda mau jadi golongan minoritas yang tetap menggeber kendaraannya meski tahu ada polisi tidur di depan sana.

Memang benar ucapan pendiri aliran karate shotokan, Gichin Funakoshi: "Seni beladiri itu bukan tentang berkelahi, melainkan tentang membangun karakter."


Nama Anda
New Johny WussUpdated: 2:57 PM

0 komentar:

Post a Comment

Copyscape

Protected by Copyscape

Blog Archive

Powered by Blogger.

Paling Dilihat

CB