Pariwara

Followers

Rei, Tradisi Menghargai Orang Lain dalam Seni Beladiri

Posted by Yonatan Adi on 8:23 AM

Anda tentunya pernah melihat (atau bertemu dengan) seorang supeltas (= sukarelawan pengatur lalu lintas) yang sedang sibuk mengatur arus lalu lintas di suatu persimpangan jalan, bukan?

Sayangnya, mereka yang dengan sukarela ikut berjasa mengatur lalu lintas itu, seringkali diperlakukan semena-mena oleh para pengguna jalan. Bukan... bukan dipukuli ataupun diludahi, jauh lebih parah daripada itu..., mereka tidak dihiraukan sama sekali. 

Memang sih ada beberapa pengemudi/pengendara mobil/motor yang masih mau diatur (misalnya saya ;D), tetapi sebagian besar pengguna jalan bahkan seolah tidak menganggap kalau si supeltas itu ada di sana. Mereka tetap saja cuek bebek menjalankan kendaraannya meskipun si supeltas sudah memberi isyarat untuk berhenti. Dan yang patut mendapat acungan jempol adalah para supeltas tersebut tidak pernah mengeluh ataupun marah-marah, mereka cuma menggeleng-gelengkan kepala sambil mengelus dada dan sedikit tersenyum.

Tetapi coba saja seandainya si pengatur lalu lintas tersebut adalah seorang anggota polisi, hampir bisa dipastikan semua pengguna jalan itu akan taat tanpa terkecuali.  

Memang dasar bangsa ini bermental tikus, takutnya kalau ada kucing (maap kelepasan ;D).


__________

Kembali ke laptop masalah... contoh kecil ini saya kemukakan untuk menunjukkan bahwa sekarang ini budaya menghargai orang lain (terutama di negeri +62 ini) sudah mulai luntur. 


Gambar dari pixabay.com
Tetapi lain halnya dalam seni beladiri, menghargai dan menghormati orang lain adalah sebuah tradisi luhur yang (untungnya) akan terus dipertahankan.

Bagi yang belum tahu, dalam seni beladiri (terutama yang berasal dari Jepang) terdapat istilah "rei". Rei--yang dilakukan dengan cara membungkukkan badan--adalah budaya yang sangat dipegang teguh oleh rakyat Jepang. Rei, yang sering disalahartikan "hanya" sebagai memberi hormat ini, dalam budaya Jepang dilakukan untuk mengungkapkan berbagai hal antara lain rasa terimakasih, rasa hormat, dan/atau rasa penyesalan.

Setidaknya ada empat cara membungkukkan badan yang semuanya mempunyai arti yang berbeda-beda. 

Photo credit: Asanagi | via commons.wikimedia.org
#1. Eshaku
Dilakukan untuk memberi salam kepada orang yang status sosialnya setara dengan kita atau kepada orang yang sudah kita kenal tetapi belum begitu akrab. Membungkuk dilakukan dengan sudut sekitar 15 derajat.

#2. Keirei
Dipakai untuk memberi salam hormat kepada orang-orang yang secara status sosial lebih tinggi daripada kita seperti guru, pimpinan, atau bos kita. Membungkuk dilakukan lebih dalam dengan sudut sekitar 30 derajat.

#3. Saikeirei
Untuk menunjukkan rasa segan dan hormat yang sangat dalam dan/ atau menunjukkan perasaan menyesal, badan dibungkukkan dengan sudut sekitar 45 derajat.

#4. Dogeza (kanji: 土下座)
Membungkuk sambil berlutut terkadang sampai kepala menyentuh tanah/lantai. Inilah bentuk penghormatan yang paling tinggi. Digunakan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang yang status sosialnya high class (misalnya kaisar atau perdana menteri), menunjukkan rasa penyesalan yang sangat dalam, dan juga dilakukan untuk memohon.
Photo creditBrooklyn Museum
Hampir semua seni beladiri asal Jepang seperti karate, judo, dan aikido mengadopsi budaya rei dengan cara membungkukkan badan ini. Tetapi ada juga seni beladiri yang melakukan rei ini dengan cara yang berbeda, Shorinji kempo misalnya, seni beladiri yang juga berasal dari Jepang ini mengadopsi cara "rei" dari Zen Budhisme yang disebut dengan gassho (kanji: 合掌).

Gassho ini mempunyai makna yang sama dengan rei tetapi dilakukan dengan cara yang berbeda yaitu dengan mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada atau dagu. Apabila gassho ini dilakukan sambil membungkukkan badan maka gestur ini disebut sebagai gassho rei. 

Kapan kita melakukan "rei" dalam seni beladiri?
Dalam seni beladiri, rei dilakukan ketika: 
  1. Akan memasuki dojo (untuk menunjukkan rasa hormat kepada dojo dan juga kepada orang-orang yang mungkin sudah ada di dalamnya).
  2. Akan memulai latihan.
  3. Menunjukkan rasa hormat dan terimakasih kepada instruktur, senior, dan juga rekan latihan.
  4. Selesai latihan.
  5. Akan meninggalkan dojo.
Secara "resmi" kita melakukan rei hanya pada 5 situasi tersebut, tetapi sebenarnya kita melakukan "rei" sepanjang latihan dengan cara menjaga kebersihan dojo; berlatih dengan sungguh-sungguh; mengikuti instruksi pelatih dengan cepat dan cermat; tidak ribut, tidak bercanda berlebihan, ataupun bertingkah semaunya sendiri di dalam dojo; serta datang tepat waktu alias tidak terlambat.

[Di Jepang, apabila ada seorang murid beladiri yang datang terlambat, dia akan melakukan seiza (posisi duduk seperti berlutut) di depan pintu masuk dojo sampai instruktur menyuruh dia masuk. Setelah diijinkan masuk si murid tersebut akan melakukan "dogeza" terlebih dulu (untuk menunjukkan rasa penyesalannya karena telah mengganggu jalannya latihan) sebelum berdiri dan memasuki dojo.]

Dan yang lebih penting jangan hanya "rei" secara fisik saja tetapi rei-lah juga dalam pikiran dan perasaan Anda. Akan sangat tidak pantas apabila secara fisik Anda rei, tetapi tingkah laku Anda tidak mencerminkan rasa menghargai, rasa menghormati, dan atau rasa terimakasih.

Kebiasaan rei dalam latihan ini akan terbawa ke dalam kehidupan sehari-hari. Seorang praktisi beladiri akan terbiasa menghargai serta menunjukkan rasa hormat dan terimakasih kepada siapapun (termasuk kepada supeltas dari contoh saya di atas).

Saya tutup postingan ini dengan sebuah kutipan yang pernah saya baca (dimana saya lupa ;D):
"Jangan menilai orang dari caranya memperlakukan atasannya, nilailah orang dari caranya memperlakukan bawahannya"
Jadi, sudahkah Anda "REI" hari ini?

Semoga bermanfaat.


Nama Anda
New Johny WussUpdated: 8:23 AM

0 komentar:

Post a Comment

Copyscape

Protected by Copyscape

Blog Archive

Powered by Blogger.

Paling Dilihat

CB