Pariwara

Followers

Warna Sabuk Beladiri, Sejarah dan Artinya

Posted by Yonatan Adi on 8:54 AM

♪♬  Pelangi, pelangi, alangkah indahmu
Merah, kuning, hijau
Di langit yang biru... 

Ups, maaf, salah intro.

Tapi tidak terlalu salah juga sih (ngeles hehe), karena apa yang akan kita bahas hari ini memang ada hubungannya dengan warni... eh warna.

Putih, kuning, oranye, hijau, biru, coklat, hitam; itulah warna-warna pelangi... eh salah ding, itulah warna-warna sabuk (atau obi) yang dipakai oleh para praktisi beladiri saat mereka sedang berlatih beladiri di dojo-nya.

Warna-warna sabuk ini ada dengan tujuan untuk menunjukkan tingkat kemajuan seseorang di dalam latihan, kemampuan atau skill beladiri-nya, serta (seharusnya) pengalaman dari pemakainya.

Tetapi kenapa hanya warna-warna itu saja yang dipilih? Kenapa tidak warna yang lain seperti pink misalnya?

Perkenalkan: The Dirty Belt Theory

Dirty belt theory atau teori sabuk kotor adalah sebuah teori (atau lebih tepatnya sebuah mitos) yang menyebutkan bahwa sabuk yang pada mulanya berwarna putih akan berubah menjadi kuning, kemudian menjadi oranye, hijau, biru, coklat, dan akhirnya menjadi hitam karena terkena keringat, darah, dan kotoran yang melekat dan mengotori obi sehingga warnanya menjadi semakin gelap.

Meskipun sangat menarik, teori ini hanyalah mitos yang tidak berdasar. Dalam seni beladiri, terutama yang berasal dari Jepang, kebersihan dan kerapian adalah bagian dari kedisiplinan. Seorang murid beladiri yang tidak memakai dogi (termasuk obi) yang bersih dan rapi tidak akan diijinkan untuk ikut berlatih. 

Sejarah sabuk berwarna dalam beladiri

Kendati seni beladiri sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, sistem sabuk berwarna ternyata baru diperkenalkan pada awal abad ke-20.

Prof. Jigoro Kano (penemu olahraga judo) adalah orang yang berjasa memperkenalkan dogi, sistem sabuk berwarna, serta tingkatan kyu dan dan dalam seni beladiri. [Kano Jigoro juga-lah orang pertama yang berhasil menggabungkan seni beladiri dan pendidikan formal dengan memasukkan judo dan kendo ke dalam kurikulum sekolah di Jepang].

Sistem tingkatan yang dikembangkan oleh Prof. Kano ini besar kemungkinan terinspirasi dari sistem tingkatan yang terdapat dalam permainan Go (catur tradisional Jepang).


Prof. Kano menciptakan sistem tingkatan ini untuk memberi semacam 'penghargaan' kepada murid-muridnya yang telah berhasil menguasai filosofi serta teknik-teknik judo dalam satu silabus (baca: tingkatan), memberi motivasi kepada murid-muridnya untuk terus berlatih, serta memudahkan instruktur untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan skill dari murid-muridnya.

Sebelum adanya sistem tingkatan ini, kemajuan dalam seni beladiri ditandai dengan "menkyo" atau lisensi. Seseorang berlatih sampai dia dianggap pantas menerima lisensi untuk sekumpulan teknik dan pelajaran yang telah dikuasainya. Apabila seseorang dianggap telah mewarisi seluruh ilmu dari gurunya, orang tersebut akan dianugerahi "menkyo kaidan" atau lisensi untuk mengajar.

Photo credit: Instituto Niten
Pada mulanya tingkatan dalam olahraga judo hanya dibagi menjadi dua saja yaitu "mudansha" (sabuk putih atau tingkat "kyu") dan "yudansha" (sabuk hitam atau tingkat "dan").

Prof. Kano kemudian membagi lagi tingkat kyu menjadi 6 tingkat yang mana 3 kyu pertama (kyu 6 - kyu 4) memakai sabuk putih, sedangkan 3 kyu berikutnya (kyu 3 - kyu 1) ditandai dengan sabuk berwarna coklat.

Yudansha sendiri dibagi menjadi 10 tingkatan dan (hampir) semuanya ditandai dengan sabuk hitam. 

Untuk Anda yang belum tahu:
  • Tingkatan kyu dalam seni beladiri Jepang dihitung mundur, contoh dalam judo tingkat kyu terendah adalah kyu 6 dan tingkat kyu yang paling tinggi adalah kyu 1.
  • Tingkatan dan adalah kebalikannya (dihitung maju), contoh dalam judo tingkatan dan terendah adalah dan 1 sedangkan dan 10 adalah tingkatan yang paling tinggi.
Pada awalnya hanya tiga warna inilah (putih, coklat, dan hitam) yang diperkenalkan oleh Prof. Jigoro Kano.
 
Untuk menandai level yang lebih tinggi, sekitar tahun 1930-an Prof. Kano membagi yudansha menjadi tiga yaitu dan 1 - dan 5 (memakai sabuk hitam), dan 6 - dan 8 ditandai dengan sabuk putih-merah (kohaku obi), sedangkan dan 9 - dan 10 memakai sabuk merah.

Munculnya warna-warna baru

Ketika judo mulai diajarkan di luar Jepang, Mikinosuke Kawaishi, yang mengajar judo di Prancis (di kota Paris tepatnya), menemukan kenyataan bahwa orang Eropa gampang sekali merasa bosan dan selalu ingin memakai warna sabuk baru setiap kali berhasil menguasai satu silabus dari kurikulum latihannya dan lulus ujian.










Untuk itu pada tahun 1939, Kawaishi menambahkan beberapa warna sabuk baru antara lain kuning, oranye, hijau, dan biru. Sistem inilah yang kemudian menjadi dasar dan diadopsi oleh seni beladiri lain seperti karate dan taekwondo. 

Apa arti dari warna-warna tersebut?

Judo, seperti halnya seni beladiri Jepang yang lain, memiliki filosofi yang cukup dalam, sehingga warna-warna sabuk yang dipakainya pun memiliki filosofi tersendiri. Setiap perubahan warna sabuk melambangkan satu langkah lebih dekat untuk mencapai 'pencerahan' dan juga keadaan tubuh, jiwa, serta pikiran yang lebih sempurna. Setiap pergantian warna sabuk melambangkan pertumbuhan jiwa dan raga dari seorang praktisi beladiri. 
  • Putih. Suci dan murni. Warna putih melambangkan kelahiran/hidup baru seperti benih yang tertanam dalam tanah yang tertutup salju. Sabuk putih melambangkan kesiapan seseorang untuk menghadapi tantangan hidup baru yang dalam hal ini berupa skill ataupun teknik-teknik beladiri.
  • Kuning. Menggambarkan sinar matahari yang baru terbit, warna kuning melambangkan kondisi pikiran yang lebih terbuka untuk menerima ajaran seni beladiri.
  • Oranye. Seperti cahaya matahari yang menyinari bumi, melambangkan pengetahuan seseorang dalam seni beladiri yang semakin luas.
  • Hijau. Warna hijau melambangkan benih yang mulai tumbuh, menggambarkan seseorang yang mulai menguasai berbagai teknik dan keterampilan dalam seni beladiri.
  • Biru. Melambangkan tanaman yang tumbuh semakin tinggi menuju langit, warna ini menggambarkan pemahaman (bukan hanya penguasaan) terhadap berbagai teknik dan gerakan-gerakan beladiri.
  • Coklat. Melambangkan pohon yang sudah berakar kuat di dalam tanah, menggambarkan maturitas/kematangan seseorang dalam seni beladiri.
  • Hitam. Melambangkan pohon yang sudah mencapai kedewasaan dan siap menebarkan benihnya. Warna hitam menggambarkan pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang skill, teknik, dan filosofi seni beladiri serta kematangan mental dan spiritual.


__________

NB. Dalam taekwondo terdapat tingkatan sabuk merah (sebelum sabuk hitam) yang melambangkan selesainya suatu proses pertumbuhan. Warna merah menggambarkan seorang praktisi beladiri yang telah menguasai aspek fisik dari seni beladiri, tetapi belum menguasai aspek mental spiritual-nya.


Demikian yang bisa saya bagikan. Semoga bermanfaat dan terimakasih.


Nama Anda
New Johny WussUpdated: 8:54 AM

0 komentar:

Post a Comment

Copyscape

Protected by Copyscape

Blog Archive

Powered by Blogger.

Paling Dilihat

CB